Minggu, 30 Oktober 2016

Orang yang haram (tersentuh) api neraka

Nabi Saw bersabda, "Maukah kalian aku tunjukkan orang yang haram (tersentuh) api neraka?.
Para sahabat berkata, "Iya, wahai Rasulallah!".
Beliau menjawab, "(Haram tersentuh api neraka) orang yang Hayyin, Layyin, Qorib, dan Sahl"

Pengertian :

1. Hayyin

Orang yang memiliki ketenangan dan keteduhan dzahir maupun batin. Tidak gampang marah, tidak grusah-grusuh dalam segala hal, penuh pertimbangan. Tidak mudah memaki/melaknat/ngamuk apabila tersulut berita yang sampai padanya.


2. Layyin

Orang yang lembut dan kalem, baik dalam bertutur-kata, tidak kasar, bermain cantik sesuai aturan, tidak semaunya sendiri, segalanya tertata rapi. Tidak suka memarahi orang yang berbeda dan walaupun orang itu tidak mentolerirnya sedikitpun. Identik tidak suka melakukan pemaksaan pendapat.

3. Qorib

Bahasa jawanya 'gati', akrab, ramah diajak bicara, menyenangkan orang yang diajak bicara. Tidak acuh tak acuh, tidak cuek-bebek, konsisten. Umumnya murah senyum jika bertemu dan wajahnya berseri-seri dan enak dipandang.

4. Sahl

Orang yang gampangan, tidak mempersulit sesuatu. Selalu ada solusi bagi setiap permasalahan. Tidak suka berbelit-belit, tidak menyusahkan dan membuat orang lain lari dan menghindar.

Keempat kata diatas memiliki makna yang mirip, sama dan saling melengkapi dalam bingkai Akhlakul karimah, yg menjadi daya tolak Neraka..
Semoga bermanfaat...

Sabtu, 22 Oktober 2016

Tafsir Al Lahab (Bernyala-nyala)


Al Lahab 1 - 5


Abu Lahab adalah paman dari Nabi SAW sendiri, saudara dari ayah beliau. Nama kecilnya Abdul ‘Uzza. Sebagai kita tahu, ‘Uzza adalah nama sebuah berhala yang dipuja orang Quraisy, Abdul ‘Uzza bin Abdul Muthalib. Nama isterinya ialah Arwa, saudara perempuan dari Abu Sufyan Sakhar bin Harb, khalah dari Mu’awiyah. Dia dipanggilkan Abu Lahab, yang dapat diartikan ke dalam bahasa kita dengan “Pak Menyala”, karena mukanya itu bagus, terang bersinar dan tampan. Gelar panggilan itu sudah dikenal orang buat dirinya.

Dalam kekeluargaan sejak zaman sebelum Islam, hubungan Muhammad SAW sebelum menjadi Rasul amat baik dengan pamannya ini, sebagai dengan pamannya yang lain-lain juga. Tersebut di dalam riwayat seketika Nabi Muhammad SAW lahir ke dunia, Abu Lahab menyatakan sukacitanya, karena kelahiran Muhammad dipandangnya akan ganti adiknya yang meninggal dunia di waktu muda, ayah Muhammad, yaitu Abdullah. Sampai Abu Lahab mengirimkan seorang jariahnya yang muda, bernama Tsuaibah untuk menyusukan Nabi sebelum datang Halimatus-Sa’diyah dari desa Rani Sa’ad.

Dan setelah anak-anak pada dewasa, salah seorang puteri Rasulullah SAW kawin dengan anak laki-laki Abu Lahab.

Tetapi setelah Rasulullah SAW menyatakan da’wahnya menjadi Utusan Allah, mulailah Abu Lahab menyatakan tantangannya yang amat keras, sehingga melebihi dari yang lain-lain. Bahkan melebihi dari sikap Abu Jahal sendiri.

Seketika datang ayat yang tersebut di dalam Surat 26, Asy-Syu’ara, ayat 214:

“Dan beri peringatanlah kepada kaum kerabatmu yang terdekat,” keluarlah Nabi SAW dari rumahnya menuju bukit Shafa. Dia berdiri dan mulai menyeru: “Ya Shabahah!” (Berkumpullah pagi-pagi!). Orang-orang yang mendengar tanya bertanya, siapa yang menyeru ini. Ada yang menjawab: “Muhammad rupanya.” Lalu orang pun berkumpul.

Maka mulailah beliau mengeluarkan ucapannya: “Hai Bani Fulan, Hai Bani Fulan, Hai Bani Abdi Manaf, Hai Bani Abdul Muthalib!” Semua Bani yang dipanggilnya itu pun datanglah berkumpul. Lalu beliau berkata: “Kalau aku katakan kepada kamu semua bahwa musuh dengan kuda peperangannya telah keluar dari balik bukit ini, adakah di antara kamu yang percaya?”

Semua menjawab: “Kami belum pernah mengalami engkau berdusta.”

Maka beliau teruskanlah perkataannya: “Sekarang aku beri peringatan kepadamu semuanya, bahwasanya di hadapan saya azab Tuhan yang besar sedang mengancam kamu.”

Tiba-tiba sedang orang lain terdiam mempertimbangkan perkataannya yang terakhir itu bersoraklah Abu Lahab: “Apa hanya untuk mengatakan itu engkau kumpulkan kami ke mari?” “Tubbanlaka!” Anak celaka!.

Tidak berapa saat kemudian turunlah Surat ini, sebagai sambutan keinginan Abu Lahab agar Nabi Muhammad SAW anaknya itu dapat kebinasaan:

“Binasalah kedua tangan Abu Lahab.” (pangkal ayat 1). Diambil kata ungkapan kedua tangan di dalam bahasa Arab, yang berarti bahwa kedua tangannya yang bekerja dan berusaha akan binasa. Orang berusaha dengan kedua tangan, maka kedua tangan itu akan binasa, artinya usahanya akan gagal: “Watabb!” – “Dan binasalah dia.” (ujung ayat 1). Bukan saja usaha kedua belah tangannya yang akan gagal, bahkan dirinya sendiri, rohani dan jasmaninya pun akan binasa. Apa yang direncanakan di dalam menghalangi da’wah Nabi SAW tidaklah ada yang akan berhasil, malahan gagal!

Menurut riwayat tambahan dari Al-Humaidi: “Setelah isteri Abu Lahab mendengar ayat Al-Qur’an yang turun menyebut nama mesjid. Beliau SAW di waktu itu memang ada di dalam mesjid di dekat Ka’bah dan di sisinya duduk Abu Bakar r.a. Dan di tangan perempuan itu ada sebuah batu sebesar segenggaman tangannya. Maka berhentilah dia di hadapan Nabi yang sedang duduk bersama Abu Bakar itu. Tetapi kelihatan olehnya hanya Abu Bakar saja. Nabi SAW sendiri yang duduk di situ tidak kelihatan olehnya. Lalu dia berkata kepada Abu Bakar: “Hai Abu Bakar, telah sampai kepada saya beritanya bahwa kawanmu itu mengejekkan saya. Demi Allah! Kalau saya bertemu dia, akan saya tampar mulutnya dengan batu ini.”

Sesudah berkata begitu dia pun pergi dengan marahnya.

Maka berkatalah Abu Bakar kepada Nabi SAW “Apakah tidak engkau lihat bahwa dia melihat engkau?” Nabi menjawab: “Dia ada menghadapkan matanya kepadaku, tetapi dia tidak melihatku. Allah menutupkan penglihatannya atasku.”

“Tidaklah memberi faedah kepadanya hartanya dan tidak apa yang diusahakannya.” (ayat 2). Dia akan berusaha menghabiskan harta-bendanya buat menghalangi perjalanan anak saudaranya, hartanyalah yang akan licin tandas, namun hartanya itu tidaklah akan menolongnya. Perbuatannya itu adalah percuma belaka. Segala usahanya akan gagal.

Menurut riwayat dari Rabi’ah bin ‘Ubbad Ad-Dailiy, yang dirawikan oleh Al-Imam Ahmad: “Aku pernah melihat Rasulullah SAW di zaman masih jahiliyah itu berseru-seru di Pasar Dzil Majaz: ‘Hai sekalian manusia! Katakanlah ‘Laa Ilaha Illallah,’ (Tidak ada Tuhan melainkan Allah), niscaya kamu sekalian akan beroleh kemenangan.’”

Orang banyak berkumpul mendengarkan dia berseru-seru itu. Tetapi di belakangnya datang pula seorang laki-laki, mukanya cukup pantas. Dan dia berkata pula dengan kerasnya: “Jangan kalian dengarkan dia. Dia telah khianat kepada agama nenek-moyangnya, dia adalah seorang pendusta!” Ke mana Nabi SAW pergi, ke sana pula diturutkannya. Orang itu ialah pamannya sendiri, Abu Lahab.

Menurut riwayat dari Abdurrahman bin Kisan, kalau ada utusan dari kabilah-kabilah Arab menemui Rasulullah SAW di Makkah hendak minta keterangan tentang Islam, mereka pun, ditemui oleh Abu Lahab. Kalau orang itu bertanya kepadanya tentang anak saudaranya itu, sebab dia tentu lebih tahu, dibusukkannyalah Nabi SAW dan dikatakannya: “Kadzdzab, Sahir.” (Penipu, tukang sihir).

Namun segala usahanya membusuk-busukkan Nabi itu gagal jua!

“Akan masuklah dia ke dalam api yang bernyala-nyala.” (ayat 3). Dia tidak akan terlepas dari siksaan dan azab Allah. Dia akan masuk api neraka. Dia kemudiannya mati sengsara karena terlalu sakit hati mendengar kekalahan kaum Quraisy dalam peperangan Badar. Dia sendiri tidak turut dalam peperangan itu. Dia hanya memberi belanja orang lain buat menggantikannya. Dengan gelisah dia menunggu berita hasil perang Badar. Dia sudah yakin Quraisy pasti menang dan kawan-kawannya akan pulang dari peperangan itu dengan gembira. Tetapi yang terjadi ialah sebaliknya. Utusan-utusan yang kembali ke Makkah lebih dahulu mengatakan mereka kalah. Tujuh puluh yang mati dan tujuh puluh pula yang tertawan. Sangatlah sakit hatinya mendengar berita itu, dia pun mati. Kekesalan dan kecewa terbayang di wajah jenazahnya.

Anak-anaknya ada yang masuk Islam seketika dia hidup dan sesudah dia mati. Tetapi seorang di antara anaknya itu bernama Utaibah adalah menantu Nabi, kawin dengan Ruqaiyah. Karena disuruh oleh ayahnya menceraikan isterinya, maka puteri Nabi itu diceraikannya. Nabi mengawinkan anaknya itu kemudiannya dengan Usman bin Affan. Nabi mengatakan bahwa bekas menantunya itu akan binasa dimakan “anjing hutan”. Maka dalam perjalanan membawa perniagaan ayahnya ke negeri Syam, di sebuah tempat bermalam di jalan dia diterkam singa hingga mati.

“Dan isterinya.” (pangkal ayat 4). Dan isterinya akan disiksa Tuhan seperti dia juga. Tidak juga akan memberi faedah baginya hartanya, dan tidak juga akan memberi faedah baginya segala usahanya: “Pembawa kayu bakar.” (ujung ayat 4).

Sebagai dikatakan tadi nama isterinya ini Arwa, gelar panggilan kehormatannya sepadan dengan gelar kehormatan suaminya. Dia bergelar Ummu Jamil: Ibu dari kecantikan! Dia saudara perempuan dari Abu Sufyan. Sebab itu dia adalah ‘ammah (saudara perempuan ayah) dari Mu’awiyah dan dari Ummul Mu’minin Ummu Habibah. Tetapi meskipun suaminya di waktu dulu seorang yang tampan dan ganteng, dan dia ibu dari kecantikan, karena sikapnya yang buruk terhadap Agama Allah kehinaan yang menimpa diri mereka berdua. Si isteri menjadi pembawa “kayu api”, kayu bakar, menyebarkan api fitnah ke sana sini buat membusuk-busukkan Utusan Allah.

“Yang di lehernya ada tali dari sabut.” (ayat 5).

Ayat ini mengandung dua maksud. Membawa tali dari sabut, artinya, karena bakhilnya, dicarinya kayu api sendiri ke hutan, dililitkannya kepada lehernya, dengan tali daripada sabut pelepah korma, sehingga berkesan kalau dia bawanya berjalan.

Tafsir yang kedua ialah membawa kayu api ke mana-mana, atau membawa kayu bakar. Membakar perasaan kebencian terhadap Rasulullah mengada-adakan yang tidak ada. Tali dari sabut pengikat kayu api fitnah, artinya bisa menjerat lehernya sendiri.

Ibnu Katsir mengatakan dalam tafsirnya bahwa Tuhan menurunkan Surat tentang Abu Lahab dan isterinya ini akan menjadi pengajaran dan i’tibar bagi manusia yang mencoa berusaha hendak menghalangi dan menantang apa yang diturunkan Allah kepada Nabi-Nya, karena memperturutkan hawa nafsu, mempertahankan kepercayaan yang salah, tradisi yang lapuk dan adat-istiadat yang karut-marut. Mereka menjadi lupa diri karena merasa sanggup, karena kekayaan ada. Disangkanya sebab dia kaya, maksudnya itu akan berhasil. Apatah lagi dia merasa bahwa gagasannya akan diterima orang, sebab selama ini dia disegani orang, dipuji karena tampan, karena berpengaruh. Kemudian ternyata bahwa rencananya itu digagalkan Tuhan, dan harta-bendanya yang telah dipergunakannya berhabis-habis untuk maksudnya yang jahat itu menjadi punah dengan tidak memberikan hasil apa-apa. Malahan dirinyalah yang celaka. Demikian Ibnu Katsir.

Dan kita pun menampak di sini bahwa meskipun ada pertalian keluarga di antara Rasulullah SAW dengan dia, namun sikapnya menolak kebenaran Ilahi, tidaklah akan menolong menyelamatkan dia hubungan darahnya itu.

***

Selain bernama “Al-Lahab” (nyala) Surat ini pun bernama “Al-Masadd”, yang berarti tali yang terbuat dari sabut itu. Beberapa faedah dan kesan kita perdapat dari Surat ini.

Pertama: Meskipun Abu Lahab paman kandung Nabi SAW saudara kandung dari ayahnya, namun oleh karena sikapnya yang menantang Islam itu, namanya tersebut terang sekali di dalam wahyu, sehingga samalah kedudukannya dengan Fir’aun, Haman dan Qarun, sama disebut namanya dalam kehinaan.

Kedua: Surat Al-Lahab ini pun menjadi i’tibar bagi kita bagaimana hinanya dalam pandangan agama seseorang yang kerjanya “membawa kayu api”, yaitu menghasut dan memfitnah ke sana ke mari dan membusuk-busukkan orang lain. Dan dapat pula dipelajari di sini bahwasanya orang yang hidup dengan sakit hati, dengan rasa kebencian kerapkalilah bernasib sebagai Abu Lahab itu, yaitu mati kejang dengan tiba-tiba bilamana menerima suatu berita yang tidak diharap-harapkannya. Mungkin juga Abu Lahab itu ditimpa oleh penyakit darah tinggi, atau sakit jantung. (Tafsir A-Azhar/Buya Hamka)

Jumat, 21 Oktober 2016

Ibn Hajar Al'Asqalani vs Yahudi

Mari takjubi kisah para Shalihin. Pada ilmu  dan daya ruhani mereka terkandung cahaya Allah. Bahkan ejekannya pun bisa menjadi jalan hidayah.


Suatu ketika Ibn Hajar Al 'Asqalani; beliau adalah penulis Fathul Bari (Syarah Shahih al-Bukhari) yang termasyhur itu; melintas dengan kereta mewahnya. 

Beliau dicegat oleh seorang Yahudi penjual minyak ter. Penampilan keduanya bertolak belakang. Ibnu Hajar tampak anggun & megah. Sementara itu, Yahudi penjual minyak ter itu dekil, compang-camping, berbau busuk, & kumal.

Dicegatnya Ibnu Hajar lalu Yahudi itu bertanya, "Nabimu mengatakan bahwa dunia adalah penjara bagi orang mukmin & surganya orang kafir (HR Muslim), benarkah demikian ?", ujarnya.

"Betul, demikianlah sabda beliau SAW", sahut Ibnu Hajar tersenyum.

"Kalau begitu akulah mukmin & kamulah kafir !", hardik si Yahudi.

"Oh", sahut Ibnu Hajar sembari tersenyum lagi, "Mengapa bisa demikian hai Ahli Kitab yang malang ?"

Jawab si Yahudi, "Coba lihat, aku hidup dalam susah dan nestapa sebagai penjual minyak ter, maka aku merasa terpenjara, maka aku mukmin. Sementara kamu, hidup mewah dan megah, maka kamu seperti di surga, sehingga sesuai hadits tadi, kamu adalah orang kafir."

Ibnu Hajar menyimak. Setelah tersenyum lagi, beliau berkata, "Sudikah jika aku jelaskan padamu makna yang benar dari hadits itu duhai cucu Israil ?"

"Dunia adalah penjara bagi seorang mukmin seperti diriku, sebab segala kemewahan yang kunikmati sekarang, tak ada apa-apanya dibandingkan dengan apa yang Allah sediakan untuk kami di surga. Dalam kemewahan ini, kami menanti nikmat yang jauh lebih berlipat. Maka hakikatnya, dunia ini adalah penjara buat kami."

"Sementara kau, di dunia memang payah & menderita, tapi semua nestapamu itu tiada artinya dibanding dengan apa yang Allah sediakan bagimu kelak di neraka. Duniamu yang menyiksa itu, sungguh adalah surga tempatmu masih bisa tersenyum, makan, & minum; menanti siksa abadi kelak di neraka sejati." Yahudi penjual ter itu ternganga.

Lalu dengan mata berkaca-kaca, dia berkata dengan lirih, "Asyhadu anlaa Ilaaha illallaah, wa asyhadu anna Muhammmadan Rasulallah.."

Segera, tanpa memedulikan pakaiannya yang mungkin terkotori, Ibnu Hajar memeluk si penjual minyak ter yang kini telah berislam.

"Selamat datang ! Selamat datang saudaraku ! Selamat atas hidayah Allah padamu, segala pujian hanya milikNya !" Mereka berangkulan erat.

Hari itu, si penjual minyak ter dibawa Ibnu Hajar ke rumahnya, dididik, & akhirnya menjadi salah seorang muridnya yang utama.

Begitulah kekuatan ilmu & ruhani yang tersambung ke langit suci. Orang Shalih itu mengilhami, bahkan 'ejekan'nya pun, jadi jalan hidayah. :) . By : Salim A Fillah

Minggu, 02 Oktober 2016

Merasakan kehalusan dan kelembutan bahasa Alqur'an

Catatan Redaksi: DKM Al-Muhajirin RW-10 Antapani Kidul, setiap Minggu ba'da shubuh, mengadakan kajian isi kandungan Al-Qur'an. Mulai dari Kajian Al-Fatihah sebagai surat pembuka Al-Qur'an sampai pada In syaa Allah akan berlanjut pada surat berikutnya. Pada kajian ba'da shubuh tadi (2/10/16) dilakukan kajian terhadap Surat Al-Fatihah. Ternyata dalam surat ini memiliki makna yang sangat mendalam. Untuk itu, pengertian dan isi makna dari Surat Al Fatihah menjadi penting diketahui agar kita sebagai umat Islam bukan saja memposisikan bacaan ritual semata, tetapi juga mengetahui pengertian Surat Al Fatihah, hakikat Surat Al Fatihah dan makna dari Surat Al Fatihah. Apalagi Surat Al Fatihah memiliki substansi, esensi dan isi kandungan yang menjadi inti daripada isi Al Quran. Bagi warga RW-10 Antapani Kidul dan juga Jamaah warga lain yang berminat dipersilahkan untuk menghadirinya.


Menurut Ust Masykur Abu Zaulah, dengan mengkaji surat Al-Fatihah, kita bisa merasakan kelembutan dan kehalusan bahasa Al-Qur’an yang menjadi kebahagiaan tersendiri bagi orang beriman ketika membacanya. Sebab selain makna dan kandungannya yang berlaku sepanjang masa hingga Hari Kiamat, Al-Qur’an juga memiliki daya i’jaz (the power of mukjizat) pada setiap pemilihan kalimat, kata, serta dalam deretan huruf-huruf Al-Qur’an sekalipun.

Sensani lathaif at-tafsir lughawiyah (kehalusan tafsir) tersebut dilukiskan secara detail oleh Mufassir Muhammad Ali ash-Shabuni ketika menerangkan kelembutan ayat-ayat dalam Surah al-Fatihah.

Hal ini bisa dibaca lebih jauh dalam kitab Tafsir Ayat al-AhkamMin al-Qur’an (Cetakan Dar ash-Shabuni, Kairo: 2007, cetakan pertama). Berikut penjelasannya:

Kesatu: Allah Ta’ala memerintahkan ta’awudz (membaca a’udzu billahi min asy-syaithani ar-rajim) sebelum membaca al-Qur’an.

Menurut Ja’far ash-Shadiq, perintah ta’awudz tersebut hanya dikhususkan ketika membaca al-Qur’an, sedang hal itu tak diwajibkan untuk ibadah dan amal kebaikan lainnya.

Hikmahnya antara lain, sebab terkadang lisan seorang hamba bergelimang dosa dengan dusta, ghibah, atau mengadu domba. Olehnya, Allah menyuruh orang itu ber-ta’awudz agar lisannya menjadi bersih kembali sebelum membaca ayat yang turun dari Zat Yang Mahasuci lagi Bersih.

Kedua: Adanya ayat basmalah di ayat pertama. Yaitu lafadz bismillahirrahirrahmanirrahim. Ayat basmalah yang mengawali surah al-Fatihah memberi indikasi yang terang agar seluruh amal perbuatan seorang Muslim juga wajib didahului dengan bacaan basmalah. Hal ini selaras dengan hadits Nabi.

“Setiap urusan kehidupan yang tidak diawali dengan ucapan bimillahirrahmanirrahim maka dia akan terputus.” (Riwayat Abu Daud).

Ketiga: Pengucapan lafadz “bismillah” (dengan nama Allah) dan tidak mengatakan “billahi” (dengan (zat) Allah). Meski ada yang menganggap penyebutan keduanya bermakna sama., namun yang benar adalah masing-masing memiliki arti yang beda. Bahwa lafadz “bismillah” dipakai untuk mengharap berkah dari Allah (tabarruk) sedang “billahi” digunakan ketika seseorang bersumpah atas nama Allah (qasam).

Keempat: Penamaan yang berbeda antara lafadz “Allah” dan “al-Ilah”. Nama “Allah” khusus dipakai untuk nama agung Allah Tuhan semesta alam. Tak ada sekutu bagi-Nya dan tak ada sesembahan selain diri-Nya (la ma’buda bi haqqin illa ilaihi). Sedang nama “al-Ilah” digunakan untuk menyebut Tuhan secara umum. Berhala yang disembah oleh orang musyrik, misalnya, juga dinamai dengan sebutan “al-Ilah”.

Kelima : Kandungan makna ayat “bismillahirrahirrahmanirrahim”. Di antaranya adalah memohon berkah dengan nama Allah dan pernyataan ketinggian Zat Allah. Ayat ini sekaligus berfungsi sebagai penangkal jitu untuk seluruh makar jahat setan kepada manusia. Sebab setan akan kabur acap lafadz basmalah ini dibaca. Lebih jauh, menurut Ali ash-Shabuni, ayat ini mengandung makna penegasan kepada orang-orang musyrik yang selama ini mengagungkan nama-nama selain Allah dalam setiap urusan mereka.

Keenam: Adanya huruf alif lam (al-makrifah) pada kata “al-hamdu”. Suatu pujian yang sempurna kepada Allah. Oleh Ali ash-Shabuni, pujian tersebut dengan sendirinya meredupkan bahkan melenyapkan seluruh yang lain di luar Sang Khaliq (istighraq al-jinsi). Huruf alif lam (al-makrifah) tersebut juga mengisyaratkan sanjungan kepada Allah yang bersifat kontinuitas, bukan suatu pujian yang dibuat-buat apalagi dipaksakan.

Ketujuh: Penyebutan “ar-Rahman ar-Rahim” yang datang setelah lafadz “Rabb al-Alamin”. Sebab boleh dikata nama “Tuhan semesta alam” menyiratkan makna kesombongan, kekuasaan, dan keperkasaan. Kesan seperti itu terkadang melahirkan kebimbangan bahwa Tuhan itu tidak menyayangi hamba-Nya. Ujungnya, sangkaan sepintas itu memunculkan putus asa dan ketakutan seorang hamba. Untuk itu, lafadz tersebut menguatkan bahwa Rabb yang dimaksud adalah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang bagi seluruh makhluk-Nya.

Kedelapan : Penyebutan “iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in”. Penyebutan dhamir khithab(kata ganti kedua) menunjukkan dialog kedekatan hamba dengan Rabbnya. Allah tak memiliki jarak untuk mengabulkan doa dan memberi pertolongan kepada hamba-hamba-Nya. Abu Hayyan al-Andalusi, pengarang kitab Tafsir al-Bahru al-Muhith menambahkan, seolah-olah orang tersebut menghadirkan Allah secara nyata di hadapannya ketika sedang bermunajat kepada-Nya.

Kesembilan : Penggunaan kata jamak dalam lafadz “na’budu” (kami menyembah) dan “nasta’in” (kami memohon pertolongan). Sebuah pemilihan kata yang sangat halus kala seorang hamba datang mengetuk perkenan Allah, Zat Yang Maha Pencipta. Seolah ia berkata, wahai Tuhanku, aku tak lain adalah hamba-Mu yang papa lagi hina. Tak pantas bagiku menghadap seorang diri di hadapan cahaya kemuliaan-Mu. Untuk itu aku memilih berbaris bersama orang-orang yang juga memohon kepada-Mu dan ikut berdoa bersama mereka. Terimalah doaku dan doa kami semua.

Kesepuluh: Penyandaran kata nikmat kepada Allah dalam lafadz “an’amta” (yang Engkau beri nikmat). Sebaliknya, kata marah (ghadhab) dan sesat atau penyesatan (dhalal) tidak disandarkan kepada-Nya. Ini terlihat ketika Allah menyebut kata “an’amta alaihim” (yang Engka beri nikmat atas mereka) tapi tidak mengucap “ghadhabta alaihim”(yang Engkau marahi atas mereka) atau “adhlalta alaihim” (yang Engkau sesatkan atas mereka).

Ust. Roni: "Ada Apa Negeri Berkekayaan Alam Melimpah Ruah, tapi Kesulitan Ekonomi Kian Menggurita."

Ketua DKM Al-Muhajirin yang baru: Ir. A. Hasan Munawar Catatan Redaksi: Pelaksanaan Shalat Idul Fitri 1445 H di Masjid Al-Muhajirin RW-10 An...