Selasa, 28 April 2020

Anjuran Ketua DKM Almuhajirin di Masa SAH

Wabah Virus Covid-19 makin meluas dengan Jumlah Penderita Positif Terus bertambah. Baik yang Sudah POSITIF Maupun Dalam Pemantauan, Semuanya Tentu Harus dirawat, Baik di Rumah Sakit maupun diisolasi di Rumah secara Mandiri bagi yang bergejala Ringan.

Hal yang Jarang diperhitungkan Masyarakat Adalah Begitu BESAR DANA yang Harus dikeluarkan untuk Merawat Seorang Penderita Positif Covid-19.

Ketua DKM Almujarin, Sigit Tjiptono, sangat prihatin dengan kondisi wabah saat ini. Untuk itu di masa Stay at Home (SAH) saat ini, Sigit merasa perlu untuk menyampaikan anjuran bagi seluruh jamaah Almuhajirin, agar senantiasa:

1. Menjaga kondisi kesehatan dengan tetap berolahraga ringan di rumah atau di halaman rumah;

2. Istirahat yang cukup, makan yang bergizi, bila perlu minum vit C dan vit E sebagaimana dianjurkan dokter pada saat ini;

3. Melakukan amal ibadah ramadhan dengan perencanaan yang baik disesuaikan dengan kemampuan fisik dan psikis;

4. Ikuti petunjuk ulama (MUI Pusat, Jabar, Kota dan Kecamatan) sebagai pewaris nabi  dan  umaro' (pemerintah pusat, propinsi, kota/kab, kec, kelurahan).

5. Selalu gembira bersama keluarga dan orang-orang tercinta.

6. Peduli kepada orang tua dan mertua, kerabat/saudara/famili, tetangga sekitar, ustadz/guru, fakir miskin, yatim piatu, dll. terutama yang membutuhkan bantuan.

Besarnya biaya perawatan

Salah Satu Anak dari Pasien Covid-19 yang dirawat di Salah Satu Rumah Sakit SWASTA di JAKARTA mengungkapkan, Untuk BIAYA Perawatan Ayahnya yang Terkena Covid-19 Mencapai Rp: 500 juta !

“Supaya Kita Semua PAHAM VIRUS Covid-19 ini Bukan Penyakit Kaleng-Kaleng. Ini Sudah dua Minggu bokap di RS. 3x Swab Masih POSITIF. Dan ( Jumlah Nominal ) itu yakin Masih Bakalan Bertambah Lagi.” Katanya Melalui Keterangan Tertulis dikutip dari VIVA News, Sambil mengirimkan Bukti Pembayaran Rumah Sakit yang mencapai Total Rp: 502.437.515.-

Meski Presiden JOKOWI Sudah Menetapkan Pandemi Virus Corona Sebagai BENCANA Nasional, yang Artinya Pemerintah Akan Membiayai Seluruh Pasien Covid-19 yang Menjalani Rawat Inap di Rumah Sakit Maupun Rawat Jalan. Namun Biaya Tersebut TETAPlah Harus dibayarkan ke Pihak Rumah Sakit.

Keluarga Pasien yang Enggan disebutkan Namanya ini Menjelaskan Mengapa dia TIDAK Mendapatkan PELAYANAN GRATIS dari Pemerintah Seperti Pasien-Pasien Lainnya. Salah Satu ALASANnya Karena Dia Dirawat di Rumah Sakit SWASTA dan Sejak AWAL dinyatakan POSITIF Covid-19, Orang Tuanya Tidak Mendapatkan Rujukan ke Rumah Sakit Pemerintah.

Untuk yang Tanya : Kenapa gak GRATIS ?

** Jawabannya: Ini di RS Swasta Oom, Cari Rujukan ke RS Negeri Juga gak Gampang. Sampai Sekarang dari Awal Masuk kita gak Dapat Rujukan ke RS Pemerintah,” ujarnya !

Maka dari itu, Keluarga Pasien ini Meminta Kepada Masyarakat Agar MenTa'ati ATURAN Pemerintah Terkait Covid-19, Sebab Jika Tidak diTanggung Pemerintah, Biayanya Akan Sangat Mahal. Jika diTanggung Pemerintah pun Jumlah Tersebut Sangat Besar, MENDING Lebih Baik Mencegahnya daripada Mengobati/ TerPAPAR !

“Kalaupun Bukan kita yang Tanggung, Negara yang Bakal Tanggung, Anak-Anak Kita yang Bakal MenCICIL Untuk ke depannya,” ujarnya !

Berdasarkan Penjelasan yang didapatnya, Covid-19 Cukup Membahayakan.

“Sekali Kena VIRUS Covid、 Paru-Paru Kita gak Bakal PULIH Seperti Semula. Ibarat Keloid, Cacat Seumur Hidup; dua Bulan Tinggal di Rumah gak Bakal Bikin Kita Mati BOSAN,” Ungkapnya.

Sebelumnya, Kementerian Keuangan (Kemkeu) Telah Membuat Aturan Satuan Biaya Penggantian untuk Biaya Perawatan Pasien Covid-19. Satuan BIAYA Tersebut Tertuang Dalam Lampiran Surat Menteri Keuangan Nomor S-275/MK.02/2020 Tertanggal 06 April 2020.

Surat Menteri Keuangan itulah yang Menjadi Patokan Pihak Rumah Sakit Untuk Mengajukan Klaim ke Kementerian Kesehatan. Setelah diklaim, Pemerintah Akan Mengganti BIAYA Perawatan Pasien Covid-19 di Berbagai Rumah Sakit Tersebut.
Biaya Perawatan Pasien Covid-19 Tanpa KOMPLIKASI 

Di Ruang ICU dengan VENTILATOR : Rp 15,5 Juta per Hari,

Di Ruang ICU Tanpa VENTILATOR : Rp 12 Juta per Hari,

Di Ruang ISOLASI Tekanan Negatif dengan Ventilator : Rp 10,5 juta per Hari,

Di Ruang isolasi Tekanan Negatif Tanpa VENTILATOR : Rp 7,5 juta per Hari,

Di Ruang Isolasi Non Tekanan Negatif dengan Ventilator : Rp 10,5 juta per Hari,

Di Ruang Isolasi Non Tekanan Negatif Tanpa Ventilator : Rp 7,5 Juta per Hari.


Golongan Pasien Lain adalah yang Memiliki Komplikasi Atau Penyakit Lain Sebelumnya,

MISALnya Hipertensi, Ginjal, Jantung, dan Penyakit Lainnya. Tentu Saja dibutuhkan Biaya Lebih BESAR Untuk PASIEN Seperti ini !

Biaya Perawatan Pasien Covid-19 dengan Komplikasi :

Di Ruang ICU dengan Ventilator : Rp 16,5 Juta per Hari,

Di Ruang ICU Tanpa Ventilator : Rp 12,5 Juta per Hari,

Di Ruang Isolasi Tekanan Negatif dengan Ventilator : Rp 14,5 Juta,

Di Ruang Isolasi Tekanan Negatif Tanpa Ventilator : Rp 9,5 juta per Hari,

Di Ruang Isolasi Non Tekanan Negatif dengan Ventilator : Rp 14,5 Juta per Hari,

Di Ruang Isolasi Non Tekanan Negatif Tanpa Ventilator : Rp 9,5 Juta per Hari.

Bayangkan Jika Pasien Minimal Harus diRawat Selama Minimal 14 Hari, Artinya Satu Pasien Membutuhkan BIAYA Minimal : Rp 105 Juta ( Biaya Terendah ) ~ Hingga Rp 231 Juta.

Duh Tinggi Banget 'kan Biaya yang Harus dikeluarkan Negara, dan Tentu Saja Keluarga Juga Harus Keluar Dana Ekstra.

Belum lagi jika pasien Meninggal Dunia, Maka Pemerintah juga akan menanggung Biaya Pemakaman sampai selesai, yang totalnya mencapai Rp: 3,36 juta.

Rincian biayanya terdiri dari :

Pemulasaraan Jenazah : Rp 550.000,-

Kantong Jenazah : Rp 100.000,-

Peti Jenazah : Rp 1.750.000,-

Plastik erat : Rp 260.000,-

Desinfektan JENAZAH : Rp 100.000,-

Transport Mobil Jenazah : Rp 500.000,- dan

desinfektan mobil jenazah Rp 100.000,-

Totalnya, tiap jenazah Covid-19 membutuhkan biaya pemakaman Rp 3,36 juta.
Jadi Mari kita bersama-sama mencegah penularan penyakit Covid-19 ini agar tidak makin meluas.

Bersyukur sehat, tetap dirumah ,terus berdoa... slamat berpuasa bagi yg menjalani....

Jumat, 24 April 2020

Shalat Jenazah di tengah Wabah

Dr. Fathiyah Al Hanafi, pengajar Fiqh Perbandingan Madzhab di Univ. Al Azhar Mesir dalam keterangannya di sebuah portal berita mesir
Disunting oleh : ustadz Heykal Sya'ban.

Didalam fatwa hal 77 mengenai sholat jenazah saat masjid ditutup krn khawatir penyebaran wabah maka dijawab sbb (scr ringkas) :

*) Tidak disyaratkan untuk sahnya sholat jenazah dilaksanakan di masjid... sah dilaksanakan di mana saja di tempat yang suci.

*) Bahkan umumnya ahli fiqih menyebutkan bahwa hukum asli salat jenazah dilaksanakan di tempat-tempat salat di luar masjid sebagaimana disebutkan dalam beberapa keterangan ulama (tertulis nukilan mereka dlm fatwa).

Sesungguhnya salat jenazah hukumnya fardhu kifayah...

Apabila telah dilaksanakan oleh sebagian orang maka gugurlah dosanya dari sebagian yang lain.

Ditekankan bahwa diperbolehkan salat jenazah di rumah yang wafat dengan kehadiran beberapa orang untuk melaksanakan salat jenazah walaupun hanya 3 orang dan juga diperbolehkan untuk salat jenazah di pemakaman sebelum mayit dikuburkan (karena sebagaimana kita ketahui salat jenazah tidak ada ruku' dan juga tidak ada sujud di dalamnya) juga dimanapun di tempat-tempat yang suci berdasarkan perkataan nabi Shallallahu alaihi wa salam : "Telah dijadikan bagiku bumi ini sebagai masjid dan suci di manapun kalian mendapatkan salat maka salatlah".

Dari sini, kesimpulan yg bisa ditarik :

Sesuai dengan perintah agama untuk mentaati waliyul amr dalam hal ini umara dan ulama negeri kita akan ditutupnya sholat berjamaah di masjid2..maka sholat jenazah dilaksanakan di rumah duka dgn menghindari kerumunan..artinya yang datang mensolatkan bisa scr periodik bergantian..adapun pelaksanaan di masjid berdasarkan fatwa2 ulama yang kita ketahui tingkat keilmuannya diakui tdk disyariatkan di saat menyebarnya wabah..

Bahkan kembali ke hukum asal, sholat jenazah mayoritas ulama mengatakan hukumnya fardhu kifayah.... sedangkan sholat fardhu jamaah yang sebagian ulama mengatakan wajib..yg kedudukannya lebih tinggi saja difatwakan u sholat di rumah tentunya yg taklif hukumnya di bawahnya lebih utama..

Wallaahu a'alam bish showab

Sabtu, 18 April 2020

Mati Zholimin atau Thoyyibin (Bag-3)

Oleh: Usin S. Artyasa

Pembahasan yang lalu diuraikan tentang dua ayat berikut berkaitan dengan kematian setiap manusia. Titik berat dua ayat ini berupa peringatan agar tidak mati kecuali dalam keadaan Muslimin.

وَوَصَّى بِهَا إِبْرَاهِيمُ بَنِيهِ وَيَعْقُوبُ يَا بَنِيَّ إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَى لَكُمُ الدِّينَ فَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ، البقرة: 132


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ، آل عمران: 102

Dua ayat di atas memuat dua hal yang sangat penting. Satu, peringatan agar kita tidak mati, kecuali dalam keadaan Muslim, melalui kalimat: “lâ tamûtunna illâ wa antum muslimûna”. Janganlah kalian mati kecuali dalam keadaan Muslim. Dua, antisipasi untuk tidak mati, kecuali dalam keadaan Muslim. 

Dengan kata lain, ada kalimat yang menjadi tindakan preventif atau antisipatif. Dua kalimat itu adalah “innallôha isthofâ lakum ad dîn” memilih Islam sebagai agama; dan kalimat “ittaqullôha haqqo tuqôtih”. Mengapa harus memilih Islam sebagai agama atau sistem hidup agar menjadi Muttaqin dan mati dalam keadaan Muslim?

Sebab, titik pusat atau “core value” ajaran Islam terletak pada tauhid. Tanpa tauhid, ketakwaan seseorang tidak mungkin terwujud. Sebab, takwa merupakan hasil akhir dari proses keimanan kepada Allah yang utuh. Jadi, orang kafir tidaklah mungkin menjadi Muttaqin. Simak pertanyaan Allah kepada kaum Kafir berikut.

فَكَيْفَ تَتَّقُونَ إِنْ كَفَرْتُمْ يَوْمًا يَجْعَلُ الْوِلْدَانَ شِيبًا، المزمل: 17

Maka bagaimanakah kamu akan dapat memelihara dirimu jika kamu tetap kafir kepada hari yang menjadikan anak-anak beruban (QS 73: 17).

Cukup menjadi Muslim dan memilih Islam sebagai identitas agama? Tidak. Setiap Muslim harus terus berikhtiar secara maksimal untuk menjadi Muttaqin. Pengertian takwa, berikut asal usul kata dan karakter Muttaqin sudah dibahas pada bagian kedua—simak kembali pembahasan yang lalu. 

Hal kedua yang harus terus dilakukan adalah oleh setiap Muslim agar kelak kematian menjadi “thoyyibîn” adalah kalimat kedua “ittaqullôh haqqo tuqôtihi”. Bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benarnya takwa.

Adakah perbedaan antara “taqwa” dan Muttaqîn atau Muttaqûn?

Dalam Al Quran, kata “tattaqûn” atau “yattaqûn” selalu berkaitan dengan iman dan amal sholeh. Sebaliknya, kata “Muttaqîn” atau “Muttaqûn” selalu disebut terakhir yang memberi kesan sebagai kesimpulan, setelah lebih dulu menyebutkan beberapa tabiat atau karakter. 

Dari fenomena ini kita dapat menyimpulkan bahwa “tattaqûn” atau “yattaqûn” menunjuk pada proses perjalanan menuju takwa. Adapun kata kata “Muttaqîn” atau “Muttaqûn” menunjuk pada orang yang berhasil atau mendapatkan gelar dari Allah dengan gelar itu setelah ia beriman dan beramal sholeh.

Untuk lebih jelasnya, kita ambil beberapa contoh ayat, lalu kita bandingkan di antara ayat-ayat yang dimaksud.

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ، البقرة: 21، وَإِذْ أَخَذْنَا مِيثَاقَكُمْ وَرَفَعْنَا فَوْقَكُمُ الطُّورَ خُذُوا مَا آَتَيْنَاكُمْ بِقُوَّةٍ وَاذْكُرُوا مَا فِيهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ، البقرة: 63، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ، البقرة: 183، وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ، الأنعام: 153

أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالْآَنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آَيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ، البقرة: 187، وَأَنْذِرْ بِهِ الَّذِينَ يَخَافُونَ أَنْ يُحْشَرُوا إِلَى رَبِّهِمْ لَيْسَ لَهُمْ مِنْ دُونِهِ وَلِيٌّ وَلَا شَفِيعٌ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ، الأنعام: 51، وَاكْتُبْ لَنَا فِي هَذِهِ الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآَخِرَةِ إِنَّا هُدْنَا إِلَيْكَ قَالَ عَذَابِي أُصِيبُ بِهِ مَنْ أَشَاءُ وَرَحْمَتِي وَسِعَتْ كُلَّ شَيْءٍ فَسَأَكْتُبُهَا لِلَّذِينَ يَتَّقُونَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَالَّذِينَ هُمْ بِآَيَاتِنَا يُؤْمِنُونَ، الأعراف: 156، وَكَذَلِكَ أَنْزَلْنَاهُ قُرْآَنًا عَرَبِيًّا وَصَرَّفْنَا فِيهِ مِنَ الْوَعِيدِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ، طه: 113

Coba kita telaah beberapa ayat di atas, secara singkat (kata “tattaqûn”).

Surat al Baqarah ayat 21 menjadikan “ibadah” (dalam arti luas, dan umum) sebagai alat, sedangkan takwa diharapkan muncul dari ibadah. Dengan kata lain, taqwa akan muncul ke permukaan melalui ibadah yang berkelanjutan. 

Sementara pada surat al Baqarah ayat 63, sikap takwa itu akan didapat setelah berpegang teguh terhadap wahyu Allah (dalam hal ini, untuk sekarang terhadap Al Quran), yang kemudian muncul semangat beribadah. Adapun surat al Baqarah ayat 183, sikap taqwa diharapkan muncul dan tampak jelas di permukaan melalui puasa.

Pada surat al An’am ayat 153, sejatinya sama dengan surat al Baqarah ayat 63, yaitu ajakan untuk berkomitmen pada wahyu Allah. Dengan kata lain, setiap Muslim harus menjadikan Al Quran sebagai sumber referensi utama dalam menjalani kehidupan, dengan segala pernak pernik masalah yang selalu muncul dalam kehidupan. Terkait dengan komitmen untuk menjadikan Al Quran sebagai referensi hidup, apa yang kemudian harus dilakukan?

Kelompok kedua adalah penggunaan kata “yattaqûn”.

Surat al Baqarah ayat 187 sesungguhnya lanjutan ayat sebelumnya tentang proses takwa. Perbedaannya pada orang yang diajak bicara, yang satu berhadapan (orang kedua, kalian, “tattaqûn”); sementara objek atau orang yang diajak bicara tidak hadir alias ghaib, yaitu mereka. Tapi, isinya berkaitan dengan ajakan untuk komitmen dalam pelaksanaan shaum agar bernilai.

Surat al An’am ayat 51 berkaitan dengan ajakan untuk memiliki rasa takut yang sangat kuat terhadap Allah. Sebab, hanya Dia yang layak dan pantas dijadikan wali atau pelindung dalam kehidupan dunia dan akhirat. Ini pun bagian dari amaliah hidup. 

Surat al A’raf ayat 156 merupakan gambaran orang-orang yang mau melaksanakan perintah Allah dalam kehidupan dunia, berikut jaminan adanya “hasanah” (kebaikan) baginya, baik dalam kehidupan dunia ini maupun kelak di akhirat. 

Terakhir, surat Thoha ayat 113 menjelaskan tentang sikap takwa dalam bentuk kekaguman terhadap Al Quran, dan sangat yakin dengan salah satu ulasannya, yaitu “al wa’îdi”, atau hari yang diancaman kepada siapa pun yang enggan bertakwa.

Kesimpulannya, seluruh penggunaan kata “tattaqûn” atau “yattaqûn” dalam Al Quran berkaitan erat dengan proses menjadi takwa atau menuju kepribadian orang yang bertakwa, yang lazim disebut “Muttaqîn” atau “Muttaqûn”. 

Sebagai proses, seseorang sedang berada proses jalan “tattaqûn” atau “yattaqûn” berpeluang gagal. Maka, upaya serius yang harus dilakukan adalah berjuang diri agar menjadi bagian dari “Muttaqîn” atau “Muttaqûn”. Lalu, apa saja karakter yang harus diinstal oleh setiap Muslim agar menjadi pribadi “Muttaqîn” atau “Muttaqûn” itu?

(Bersambung ….)

Minggu, 05 April 2020

Mati Zholim atau Thoyyibin (II)

Oleh: Usin S. Artyasa
(Pengisi ta"lim di Masjid Almuhajirin Antapani Kidul setiap Kamis Subuh)

Pembahasan yang lalu menyebutkan bahwa Rasulullah Saw. bersabda: “man kâna âkhiru kalâmihi lâ ilâha illallôhu dakhola al Jannah”, barangsiapa yang ucapan terakhirnya lâ Ilâha illallôhu pasti masuk surge (HR Abu Dawud, dishahihkan Syaikh al Albani dalam Miyhkah al-Mashabiih, 1/509). Ungkapan hadis ini menggunakan fi’il madhi (kata kerja bentuk lampau). Mengapa? Bukankah kematian itu belum terjadi?

Dalam hadis maupun Al Quran, ungkapan yang menunjukkan kepastian, meskipun kejadian atau peristiwa belum terjadi, biasanya menggunakan kata kerja bentuk lampau. Tujuannya adalah memberi kepastian atau bayangan bahwa peristiwa itu sudah terjadi. Simak saja ungkapan Al Quran seperti “idzâ qoro’tum al qur’âna fasta’idz billâh”. Kata “qoro’tum” makna bahasanya adalah “telah membaca”, bukan akan dan sedang membaca. Itulah sebabnya, membaca “isti’âdzah” atau kalimat “a’ûdzu billâhi minasy syaithônir rojîm” dipentingkan saat seseorang hendak tilawah Al Quran (QS 16: 98).

Begitu pula dengan kalimat “idzâ qumtum ilâ ash sholât … faghsilû wujûhakum”. Bila hendak sholat … basuhlah wajahmu, QS 5: 6. Kata “qumtum” (artinya: kalian telah mendirikan) pun sebentuk dengan kata “qoro’tum” (kalian telah membaca). Dengan kata “qumtum”, kita diharuskan berwudhu lebih dulu, baru sholat. Bukan sholat dulu, baru berwudhu, seperti halnya kita diharuskan membaca “isti’âdzah” baru tilawah Al Quran, bukan sebaliknya.

Kembali ke masalah kalimat “dakhola al Jannah”.

Kalimat “dakhola al Jannah” menunjukkan kepastian bahwa orang yang ucapan terakhirnya, saat sakarotul maut adalah kalimat tauhid, yaitu “lâ ilâha illallôhu”, ia pasti menjadi bagian dari Ahlul Jannah. Masalahnya, sedemikian mudahkah mengucapkan kalimat “lâ ilâha illallôhu”, sementara hati orang yang sedang sakarotul maut itu hatinya masih menuhankan yang lain?

Inilah persoalan utamanya. Sulit sekali mempertahankan kalimat “lâ ilâha illallôhu” hingga akhir hayat. Sebab, selama hidup masih dikandung badan, manusia akan selalu dan pasti menghadapi banyak ujian. Dengan beragam bentuknya yang tak pernah kita duga sebelumnya. Itulah sebabnya, tidak sedikit ayat Al Quran yang mengajak setiap Muslim untuk bertakwa agar tidak mati, kecuali dalam keadaan Muslim.

Simak dua ayat berikut.

وَوَصَّى بِهَا إِبْرَاهِيمُ بَنِيهِ وَيَعْقُوبُ يَا بَنِيَّ إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَى لَكُمُ الدِّينَ فَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ، البقرة: 132

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ، آل عمران: 102

Dua ayat di atas memuat dua kata yang menjadi peringatan bagi setiap Muslim: “lâ tamûtunna illâ wa antum muslimûna”. Janganlah kalian mati kecuali dalam keadaan Muslim. Melalui kalimat ini, setiap orang berpeluang mati tidak dalam keadaan Muslim. Entah menjadi bagian dari Musyrikin, Munafiqin, Zholimin, Fasiqin, bahkan Kafirin. Na’ûdzu billâhi min dzâlik.

Maka, agar setiap orang tidak mati, kecuali dalam keadaan Muslim, penangkalnya terdapat pada kalimat sebelumnya: mengikuti agama yang sudah dipilih oleh Allah, yaitu Islam, “innallôha ishthofâ lakum ad dîn”. Tidak hanya itu, bertakwa dengan ketakwaan yang sesungguhnya. Jadi, singkatnya, kematian yang husnul khotimah atau kematian berujung baik, karena dalam keadaan melakukan amal baik, atau tidak dalam keadaan berbuat syirik, atau kematian yang “thoyyibin” (ingat lagi tulisan sebelumnya, QS 16: 32) hanya dapat diraih melalui sikap dan tindakan takwa kepada Allah.

Lalu, apakah bertakwa itu?

Kata “taqwa” yang berasal dari “waqô-yaqî-wiqôyatan”, yang artinya menjaga, menutupi sesuatu dari bahaya, atau menghindari dan ‘menjauhi, yaitu menjaga sesuatu dari segala yang dapat menyakiti dan mencelakakan (Luwis Ma’luf, Munjid fi al-Lughah wa A’lām, 1986: 915). Kata takwa dengan pengertian ini digunakan dalam QS 40: 45. Penggunaan bentuk kata kerja “waqô” dapat dilihat, antara lain dalam QS 76: 11 dan 44: 56.

Mufassir lainnya berpendapat, kata “takwa” berasal dari kata “ittaqô-yattaqi” yang berarti ‘menjaga diri dari segala yang membahayakan atau membawa mudharat (kebinasaan). Sejumlah pakar bahasa berpendapat bahwa kata ini lebih tepat diterjemahkan dengan “berjaga-jaga atau melindungi diri dari sesuatu”.

Bila dikaitkan dengan Allah lahirlah kata “ittaqullôh”, maknanya melindungi diri dari azab-Nya dan hukuman-Nya. Menurut Sayyid Thanthawi, “taqwa” secara bahasa berarti “melindungi dan menjaga diri dari segala sesuatu yang membahayakan dan menyakiti”, yang dihindari dengan memenuhi perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan yang menjerumuskannya ke dalam Neraka (Muhammad Sayyid Thanthawi, At-Tafsir Al-Washit, Juz I, 1997: 13; al-Raghib al-Asfahaniy, Mu‘jam Mufradat Alfaz Al-Qur ‘an, 1972: 568; Ibnu Kasir, Tafsir al-Qur’an al- ‘Azim, 1992: 55; Muhammad Ibnu Umar al-Zamakhsyari,. al-Kasysyaf ‘an Haqaiq al-Tanzil wa ‘Uyun al-Aqdwil Fi Wujuh al~Ta ‘wii, 1977: 120).

Penggunaan bentuk “ittaqô” terdapat di QS 7: 96. Adapun kata “taqwa” bersinonim dengan kata “khauf” dan “khosyyah” yang berarti ‘takut’. Kata “taqwa” ini juga mempunyai pengertian yang hampir sama dengan kata taat, seperti QS 24: 52. Orangnya lazim disebut “muttaqin”.

Secara terminologi syar’i (hukum), kata “taqwa” mengandung pengertian “menjaga diri dari segala perbuatan dosa dengan meninggalkan segala yang dilarang Allah dan melaksanakan segala yang diperintahkan-Nya”.

Menurut Imam al Baydhowi, “taqwa” itu komitmen untuk menjaga, merawat, atau memelihara, serta melindungi dan mencegah dirinya dari apa pun yang membahayakannya di dunia dan akhirat. Masih menurut Imam al Baydhowi, “taqwa” memiliki tiga tingkatan. 

Satu, melindungi diri dari azab yang kekal di akhirat, yakni dengan menghindari perbuatan syirik. Dua, melindungi diri dari segala perbuatan yang dapat mengotorinya hingga perbuatan-perbuatan yang kecil. Tiga, memisahkan keburukan dari kebenaran (Ibnu Muhammad al-Baydhowi, Anwaru At-Tanzil wa Asraru At-Ta’wil, 1997: 17-18).

Kata “taqwa” menurut Imam al Qurthubi artinya “sedikit berbicara”. Abu Yazid al Busthomi, “orang yang bertaqwa” (baca: muttaqin), adalah orang yang pembicaraannya dan perbuatannya sesuai dengan petunjuk Allah (Ibnu Farh Al-Qurthubi Abu Abdillah, Tafsir Al-Qurthubi Al-Jami’ Li Ahkam Al-Qur’an, 1964: 203).

Kata “taqwa” memuat sikap berhati-hati, yaitu sikap waspada seseorang dan selalu memperhatikan baik buruknya sesuatu. Di dalamnya ada unsur “furqan”, yaitu kemampuan membedakan antara baik dan buruk; benar dan batil. Umar ibn al Khattab ra., “taqwa” menggambarkan seseorang yang menghindari syirik dan lepas atau terbebas dari kemunafikan; mengibaratkan ketaqwaan dengan seseorang yang berjalan dijalan yang dipenuhi duri, lalu dia berjalan dengan cepat dan menghindari duri-duri tersebut.

Kualifikasi “taqwa” dalam Al Quran, hakikatnya, merupakan integralisasi iman, Islam dan ihsan. Iman merupakan gabungan dari kepercayaan, rasa takut (khauf) dan harap (ar-rajaa), sedangkan rasa takut menjadi substansi dari taqwa yang terbangun dari kokohnya tauhid. Di sisi lain, kebiasaan baik dan kepatuhan (al birru) merefleksikan keyakinan kepada Allah, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan hari akhir (Iman), ketundukannya untuk menjalankan ibadah (Islam) dan kerelaannya untuk senantiasa berbuat kebajikan (Ihsan).

Hasil dari perpaduan iman, Islam, dan ihsan membuahkan manfaat berupa: mendapatkan sikap furqan, yaitu sikap tegas membedakan antara yang hak dan batil, benar dan salah, halal dan haram, serta terpuji dan tercela, QS 8: 29; mendapatkan limpahan berkah dari langit dan bumi (QS 7: 96); mendapatkan jalan keluar dari kesulitan (QS 65: 2); mendapatkan rezeki tak terduga (QS 65: 3); selalu ada kemudahan dalam berbagai urusan (QS 65: 4; 92: 7-9); dan menerima penghapusan dan pengampunan dosa serta mendapatkan pahala yang besar (QS 8: 29; 65: 5)...

Sabtu, 04 April 2020

Mati Zholimin atau Thoyyibin (1)

Oleh: Ust. Usin S. Artyasa
(Pengisi ta"lim di Masjid Almuhajirin, Antapani Kidul setiap Kamis Subuh)

Dalam Al Quran, ada dua ayat yang menerangkan dua bentuk kematian yang berbeda. Ayat yang satu menggambarkan kematian yang menzhalimi diri sendiri (zholimi anfusihim). Ayat yang satu lagi menggambarkan kematian yang baik (thoyyibin).

الَّذِينَ تَتَوَفَّاهُمُ الْمَلَائِكَةُ ظَالِمِي أَنْفُسِهِمْ فَأَلْقَوُا السَّلَمَ مَا كُنَّا نَعْمَلُ مِنْ سُوءٍ بَلَى إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ

Yaitu, orang-orang yang dimatikan oleh para malaikat dalam keadaan berbuat zhalim kepada diri sendiri, lalu mereka menyerah diri (sambil berkata); "Kami sekali-kali tidak mengerjakan sesuatu kejahatan pun". Malaikat menjawab: "Sungguh, Allah Maha Mengetahui apa yang telah kamu kerjakan", QS 16: 28.

Menurut Ibnu ad Dimasqi (Jilid 12: 48), kalimat “al ladzîna al malâ’ikatu …” berfungsi sebagai “al maushûl majrûr aw baddalan aw bayânan”, sebagai penyambung penbicaraan untuk memperjelas keterangan tentang orang-orang yang diazab dalam kehinaan. Menurut al Alûsi, kata “al-ladzîna” itu menerangkan ayat sebelumnya, yaitu al-kâfirîn. Mereka inilah yang dimatikan oleh malaikat dalam keadaan zhalim, sû’ul khôtimah. Kalimat “fa alqowus salâm” berfungsi sebagai “al mazîdah fi al khobâr”, penambah keterangan atas kehinaan dan ketidak-berdayaan mereka di hadapan Allah (Ibnu Athiyah, 12: 48).

وَقِيلَ لِلَّذِينَ اتَّقَوْا مَاذَا أَنْزَلَ رَبُّكُمْ قَالُوا خَيْرًا لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا فِي هَذِهِ الدُّنْيَا حَسَنَةٌ وَلَدَارُ الْآَخِرَةِ خَيْرٌ وَلَنِعْمَ دَارُ الْمُتَّقِينَ

Dan, dikatakan kepada orang-orang yang bertakwa: "Apakah yang telah diturunkan oleh Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Kebaikan". Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini mendapat balasan yang baik. Dan, sungguh, kampung akhirat itu lebih baik, dan itulah sebaik-baik tempat bagi orang yang bertakwa, QS 16: 30.

Menurut Imam al Qôdhi (dalam Lubab fi ‘Ulum al Quran, 12: 52), makna kata “al ladzîna at taqow” adalah “al ladzîna jamî’un al muharromât wa fâ’ilun jamî’un al wâjibât”, orang yang menjauhi semua yang haram, dan melaksanakan semua yang diwajibkan. Kata “al ladzîna at taqow” juga digambarkan sebagai orang-orang yang sempurna imannya, dan terus menerus menghiasi diri dengan bertumpuk kebaikan (Tafsir al Mishbah, 7: 219).

Kata “khoyron”, dari segi bahasa, berkedudukan sebagai objek. Kata “khoyron” menunjuk pada jawaban orang-orang yang bertakwa saat mereka ditanya tentang apa yang telah diturunkan Allah kepada mereka. Hal ini berbeda dengan jawaban kaum kafir, yaitu “asâthîr al awwalîn” (lihat QS 16: 24). Artinya, kaum bertakwa merasa sangat yakin bahwa yang Allah turunkan dalam Al Quran seluruhnya berupa kebaikan dan kebenaran.

Menurut Zayd ibn Ali (dalam Bahrul Muhith, 5: 373; Durul Mantsur, 4: 334), kata “khoyron” maknanya sama dengan “al ahsanu”, yang berfungsi sebagai jawaban atas pertanyaan Allah tentang hakikat isi yang diturunkan Allah kepada Rasulullah Saw. Menurut Umar ibn Adl ad Dimasqi, ungkapan “al ladzî fî hâdzîhi ad dunyâ hasanah”memiliki dua makna. Satu, sebagai “ikhbar” atau informasi. Dua, sebagai jaminan bagi kaum Muttaqin bahwa mereka sangat layak untuk mendapatkan berbagai kebaikan. Menurut Zamakhsyari (dalam Lubab fi ‘Ulum al Quran, 12: 5), makna kedua lebih tepat daripada makna pertama.

Kita semua tentu ingin mengakhiri hidup dalam keadaan beriman kepada Allah. Lebih-lebih dengan mengucapkan kalimat tauhid, “lâ ilâha illallôh”. Sebab, ada banyak hadis yang menerangkan tentang jaminan masuk Jannah kepada siapa pun yang kalimat akhirnya menjelang mati adalah “lâ ilâha illallôh”.

Dari Utsman ibn ‘Affan ra., Rasulullah Saw. bersadba:

مَنْ مَاتَ وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ

“Siapa meninggal dunia sementara dia mengetahu bahwa tiada tuhan yang berhak diibadahi kecuali Allah pasti masuk surga.” (HR. Muslim)

Abu Dzar ra. juga menukil bahwa Rasulullah Saw. bersabda:

مَا مِنْ عَبْدٍ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ ثُم مَاتَ عَلَى ذَلِكَ إِلَّا دَخَلَ الْجَنة

“Tidaklah seorang hamba mengucapkan Laa Illa Illallah kemudian ia meninggal dunia di atas ucapan itu kecuali pasti masuk surga.” (HR. Al-Bukhari).

Mu’adz bin Jabal ra. pun berkata bahwa Rasulullah Saw. bersabda:

مَنْ كَانَ آخِرُ كَلَامِهِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ

“Barangsiapa yang ucapan terakhirnya Laa Ilaaha Illallaah pasti masuk surga.” (HR. Abu Dawud, dishahihkan Syaikh Al-Albani dalam Miyhkah al-Mashabiih: 1/509)

Bersambung ….

Jumat, 03 April 2020

15 Pesan Pasca Kepergian Covid-19

Ada 15 Pesan yang akan ditinggalkan Covid-19, yang in syaa Allah segera akan pergi :

1. Makanlah yang menyehatkan lagi Halal. Jauhi makanan dan minuman Haram. Bukankah awalnya virus muncul setelah binatang binatang, liar, buas dan kelelawar dibantai dengan kasar atau dibakar hidup hidup lalu dimakan?

2. Jangan lagi berpakaian minim lagi ketat mengumbar aurat. Bukankah Covid-19 telah mendidik kita berpakaian serba tertutup?, dan memang kan semua agama Samawi memuliakan pakaian yang rapih, bersih dan sopan.

3. Jaga ucapan, makanan, dan pendengaran. Bukankah masker Covid-19 telah mendidik kita menutup mulut, lidah, telinga dan hidung?*

4. Jangan lagi ada "pergaulan bebas" tanpa batas, selingkuh dan kumpul tanpa ikatan sah. Bukankah Covid-19 telah mendidik kita untuk Sosial Distancing dan Physical Distancing, jaga jarak, bahkan bersalamanpun tidak bersentuhan?*

5. Jangan lagi malas ke rumah rumah Ibadah, Masjid dll. Bukankah Covid-19 telah mendidik kita, bagaimana sedih dan stress nya kita tanpa ada tempat memohon, berdoa, tak bisa beribadah berjamah dan shalat di Masjid dalam suasan batin yang damai. Bagaimana sedihnya melepas saudara kita yang meninggal tanpa dishalatkan beramai ramai di Masjid?

6. Jangan lagi pernah abaikan rumah, keluarga dengan terlalu sibuk di luar rumah. Bukankan Covid-19 telah mendidik kita untuk banyak tinggal di dalam rumah bersama keluarga ?

7. Jangan lagi ada rasa angkuh, sombong, dan merasa besar serba bisa.
Bukankah Virus Corona yang kecil dan tak tampak mata itu telah mendidik kita, bahwa tidak ada yang mampu mencegahnya jika Covid-19 ingin datang mampir?, dan Covid-19 tidak mengenal status sosial miskin atau kaya, tua atau muda pembesar atau rakyat biasa, semua dihinggapi jika abai.

8. Jangan lagi jauh dari Tuhan..Sang Maha Pencipta. Bukankan Covid-19 telah mendidik kita, dalam suasana Covid-19 aktif menyebar, semua orang ketakutan dan semua orang baru mendekat berdzikir dan berdoa, memohon perlindungan Tuhan Sang Kholiq?

9. Jaga kebersihan dan ketertiban. Bukankah Covid-19 telah mendidik kita agar selalu menjaga kebersihan badan, pakaian, barang dan lingkungan dengan rajin mandi, mencuci tangan, semprot antiseptik dan disinfektan, dan tidak sembarangan membuang sampah?*

10. Jangan lagi abai dan masa bodoh pada anugerah Allah yang melimpah tak terbatas, seperti sinar matahari, tumbuhan yang menyehatkan dll.*
Perbanyaklah bersyukur atas karunia gratis itu semua.*
Bukankah Covid-19 telah mendidik kita agar rajin berjemur n OR di pagi hari, rajin minum jahe, sereh, kunyit, lemon dll agar daya tahan tubuh kita lebih kuat? . Tanam dan peliharalah tumbuhan yang memberi manfaat kesehatan.*

11. Tingkatkan semangat kebersamaan, solidaritas, saling tolong. Jangan lagi semua dihitung berdasarkan kepentingan pribadi dan pamrih. Bukankah Covid-19 telah mendidik kita bahwa kita tidak mampu mengurus diri sendiri seorang diri, kita butuh orang lain yang meski bukan saudara seperti dokter, dll. Kalau tidak ditolong orang, bisa mati mendadak di jalanan saat dihindari orang karena takut tertular.*

12. Berimanlah, beragamalah dengan baik. Percayalah yakinilah pada hal hal Ghaib yang tak tampak mata, seperti adanya Tuhan, ada Malaikat dan ada Jin. Jangan lagi menantang Tuhan dengan mengatakan, bagaimana percaya pada Tuhan sedang kita tidak bisa melihat Tuhan.*
Bukankah Covid-19 mendidik kita bahwa meski Virus Corona tidak tampak. tapi ada, buktinya, banyak yang terpapar oleh Covid-19 dan meninggal.*

13. Selalu mempersiapkan diri untuk kehidupan Akhirat dengan perbanyak kebaikan, meningkatk kualitas n kuantitas ibadah dan amal sholeh. Hidup di Dunia ini hanya sementara saja, sewaktu waktu bisa mati.

Bukankah Covid-19 telah mendidik kita bahwa kematian bisa datang menjemput secara tiba tiba dan di mana saja.

14. Daya tahan tubuh akan kuat jika selalu berbaik sangka, sabar, syukur, ikhlas dan jujur.
Daya tahan tubuh akan melemah saat pikiran dikuasai dengki, fitnah, iri, hasut, ujaran kebencian dan cacian, seks bebas, seks sesama jenis, dan Narkoba.
Maka perkuatlah ketahanan tubuh dengan selalu berbaik sangka, husnudzon, ikhlas dan tawalkal. Jangan lagi ada iri, caci, dengki, ujar kebencian, fitnah dan kekerasan, Narkoba dan penyimpangan seksual.*

Bukankah Covid-19 telah mendidik kita bahwa Virus Corona mudah menyerang mereka yang daya tahan tubuhnya lemah?

15. Perkuat Silaturrahim. Jaga harmoni sesama makhluk. Jangan lagi merusak alam. Jangan ekspoilitasi kekayaan bumi secara berlebihan. Bukankah Covid-19 telah mendidik kita bahwa, adanya keseimbangan dan pengurangan polusi industri, asap mesin, keseimbangan semburan kimia beberapa minggu ini, telah membuat udara, awan dan alam ini lebih cerah dan bersih?*

Sungguh pelajaran yang luar biasa dari Virus Corona.*
Semoga kita semua selalu dalam lindungan Allah SWT dan dijauhkan dari semua musibah dan penyakit. Dan wabah Covid-19 cepat berlalu. 
Aamin YRA.

Kamis, 02 April 2020

Corona dan Menghentikan Penggunaan Masjid

Masalah yang dihadapi DKM, sepintas memang remeh. Padahal, tidak begitu. Sebab, di dalamnya termuat beberapa hal yang sangat prinsip :

Pertama, adanya kegaiban bernama hakikat virus dan proses penyebarannya.
Dalam ilmu akidah, ghaib itu dibagi dua: mutlak dan muqoyyad.

Ghaib mutlak berkaitan dengan hakikat Allah, hari kiamat (QS 67: 12). Ghaib muqoyyad (relatif) berkaitan dengan kegaiban yang bersyarat (QS 72: 26-27). 

Ungkapan “bersyarat” yang dimaksud adalah persyaratan ilmu yang tentu dengan izin Allah. Itupun hanya “bagian tertentu” atau pengetahuan yang tidak bersifat mutlak karena, sekali lagi, kemutlakan hanya di sisi Allah.

Untuk kalangan awam, hakikat dan proses penyebaran virus Covid 19 sangat sulit dideteksi.

Faktanya, virus ini menular dengan cepat dan membunuh manusia.

Sayangnya, kebijakan “social/physical distancing” (pembatasan jarak sosial/fisik) tidak diindahkan karena munculnya kelompok ‘neojabbariyah’ atau ‘neoqodariah’.

Teologi ‘jabariyah’ (asal: ja-ba-ro) artinya keterpaksaan, yaitu paham teologi yang meyakini bahwa ‘alur hidup manusia merupakan ketentuan Tuhan yang berkuasa mutlak dalam menentukan garis hidup manusia.

Lawannya adalah teologi qadariyah (asal: qo-da-ro) arti kehendak, yaitu teologi yang meyakini bahwa apa yang terjadi pada diri manusia merupakan kehendak pribadi, dan tidak ada urusan dengan ketentuan Allah.

Contoh kalimat ‘neo-jabariyah’ adalah ungkapan ‘ngeyel’ figur publik bahwa “takdir mati itu ketentuan Allah, kalau Allah tidak menakdirkan mati, maka kita tetap hidup”. Lalu, ia tetap mengadakan kegiatan keagamaan yang mengundang banyak orang, padahal instruksi MUI jelas melarang mengadakan acara yang dapat membuat kerumunan massal dikarenakan berpotensi mempercepat penyebaran virus.

Apa yang kemudian terjadi?

Di sebuah masjid di Kebon Jeruk, lebih dari 170 orang dikarantina karena positif corona.

Beberapa fakta yang belakangan muncul: Global Times menyebut adanya “silent carrier”. Ilmuwan Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Ningbo Provinsi Zhejiang China Timur menemukan bahwa 6,3% terinfeksi tanpa gejala. Ahli virologi, Yang Zhanqiu Provinsi Hubei juga menyebut bahwa setidaknya 200 ribu “silent carrier” virus corona yang tanpa gejala.

Kedua, kutipan QS 9: 17-18 yang tepat dengan mengatakan bahwa ‘penutupan masjid untuk aktivitas berjamaah dan ibadah merupakan bagian dari tindakan zhalim’. Bahkan, layak disebut ‘musyrik’ orang yang enggan ke masjid.

Memang, ada ayat yang menggambarkan bahwa melarang penyebutan nama Allah di masjid merupakan tindakan zhalim. Simak ayat berikut.

وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنْ مَنَعَ مَسَاجِدَ اللَّهِ أَنْ يُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ وَسَعَى فِي خَرَابِهَا أُولَئِكَ مَا كَانَ لَهُمْ أَنْ يَدْخُلُوهَا إِلَّا خَائِفِينَ لَهُمْ فِي الدُّنْيَا خِزْيٌ وَلَهُمْ فِي الْآَخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ، البقرة: 114

Adapun surat yang menggambarkan keengganan kaum musyrik untuk memasuki masjid karena mereka sudah tahu bahwa dirinya kafir. Di dalamnya juga digambarkan tentang syarat menjadi takmir masjid: beriman kepada Allah, tidak takut selain kepada-Nya, mendirikan sholat, menunaikan zakat.

مَا كَانَ لِلْمُشْرِكِينَ أَنْ يَعْمُرُوا مَسَاجِدَ اللَّهِ شَاهِدِينَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ بِالْكُفْرِ أُولَئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ وَفِي النَّارِ هُمْ خَالِدُونَ، إِنَّمَا يَعْمُرُ مَسَاجِدَ اللَّهِ مَنْ آَمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ وَأَقَامَ الصَّلَاةَ وَآَتَى الزَّكَاةَ وَلَمْ يَخْشَ إِلَّا اللَّهَ فَعَسَى أُولَئِكَ أَنْ يَكُونُوا مِنَ الْمُهْتَدِينَ، التوبة: 18-17

Tak seorang pun dari Mukmin yang tak merindukan masjid sebagai tempat berlabuhnya hati untuk beribadah. Bahkan, Ibnu Katsir menjelaskan tentang keutamaan masjid dengan mengutip sebuah hadis. Imam Daruqutni (Kitab al Ifrad) meriwayatkan hadis melalui jalur Hikamah binti Usman ibnu Dinar, dari Malik ibnu Dinar, dari Anas ibn Malik ra.:

"إِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِقَوْمٍ عَاهَةً، نَظَرَ إِلَى أَهْلِ الْمَسَاجِدِ، فَصَرَفَ عَنْهُمْ"

Apabila Allah menghendaki azab atas suatu kaum, maka Dia memandang kepada ahli masjidnya (orang-orang yang memakmurkan masjid-masjid); maka Allah berpaling dari mereka (tidak jadi mengazab mereka).

Ibnu Katsir juga mengutip hadis qudsi dari Anas ibn Malik ra. bahwa Allah berfirman:

إِنِّي لَأَهِمُّ بِأَهْلِ الْأَرْضِ عَذَابًا، فَإِذَا نَظَرْتُ إِلَى عُمَّارِ بُيُوتِي وَإِلَى الْمُتَحَابِّينَ فِيَّ، وَإِلَى الْمُسْتَغْفِرِينَ بِالْأَسْحَارِ، صَرَفْتُ ذَلِكَ عَنْهُمْ"

Demi keagungan dan kebesaran-Ku, sesungguhnya Aku hendak menimpakan azab kepada penduduk bumi. tetapi apabila Aku memandang kepada orang-orang yang memakmurkan rumah-rumahKu dan memandang kepada orang-orang yang saling menyukai karena Aku, dan memandang kepada orang-orang yang memohon ampun di waktu sahur, maka Aku palingkan azab itu dari mereka.

Jadi, penggunaan dua surat di atas (QS 2: 114 dan 9: 17-18) sebagai dalil untuk menentang ‘penghentian atau penutupan sementara penggunaan masjid sebagai tempat berjamaah’ karena sama dengan perbuatan zhalim tidaklah tepat.

Jelasnya penggunaan dua surat keliru dan salah.

Dua surat itu harus diliihat secara komprehensif dari konsep ‘sibâq’ dan ‘siyâq’ agar tidak menghasilkan kesimpulan yang keliru.

Sebab, pengambilan kesimpulan hukum alias ‘istinbath’ mengacu pada konsep ‘maqôshid asy syarî’ah’ (tujuan penerapan syariat Islam).

Salah satu unsur dari ‘maqôshid asy syarî’ah’ adalah menjaga jiwa (hifdhu-n-nafsi).

Ketiga, setiap Muslim sudah bersepakat ulama yang memiliki otoritas keagamaan adalah pewaris nabi.

Setiap kesimpulan dan keputusan hukum yang diambil pasti mengacu rujukan Al Quran dan Hadis. Termasuk kaidah fiqh.

Mereka bertugas memastikan tujuan pokok dan fundamental syariat ‘maqôshid asy syarî’ah’ terlaksana dengan baik, yakni "mewujudkan maslahat dan meniadakan kerusakan" dalam kehidupan dengan cara menjaga jiwa manusia (hifdhu-n-nafsi).

Masjid itu tempat bersujudnya organ paling terhormat dalam susunan anatomi tubuh manusia.

Bahkan, sujud merupakan saat terdekat seorang hamba dengan Rabb-nya.

Sungguh, perbuatan yang tak seyogianya ada jika saat kemesraan spiritual ini ternoda dengan rasa tak aman dan tak lagi nyaman karena rasa was-was atas Covid-19 yang tak kasat mata itu.

Masjid harus dijaga muruah, kesucian, dan fungsinya sebagai episentrum kemaslahatan hidup.

Biarkan sajalah mal-mal, pusat-pusat perbelanjaan, pusat-pusat hiburan dan sejenisnya dicatat oleh sejarah sebagai tempat yang justru seringkali meruntuhkan martabat kemanusiaan kita.

Bahkan, tempat di mana manusia milenial saling menunjukkan eksistensi diri, kekayaan, dan kelas sosial.

Wajarlah, dalam pandangan kenabian, tempat tersebut menyandang predikat tempat yang paling dimurkai Allah Ta’ala (HR Muslim).

Seharusnya, car
a berpikir umat Islam tidak perlu menuntut agar masjid disamaratakan dengan mal, pusat perbelanjaan, pusat hiburan tersebut—yang kemudian latah menebar status provokatif, semisal, "Mengapa masjid ditutup, tapi mal dibuka lebar?"

Seraya berburuk sangka kepada ulama penuntun umat. Apa pandangan manusia jika sudah terbukti bahwa masjid menjadi penyebab pandemic Covid 19 karena ada sekelompok orang yang ‘ngeyel’ untuk membuka masjid pada saat virus Covid 19 sedang mengganas?

Sejarah mencatatnya sebagai kebodohan.

Keempat, hilangnya adab sebuah masyarakat yang warganya berkarakter Islam.

Salah satunya kesiapan untuk menjadi makmum yang baik, sekaligus menjadi imam yang baik.

Salah satu adab yang saat ini hilang adalah sirnanya konsep ‘sami’atan wa tho’atan’ atas keputusan seorang pemimpin.

Apalagi jika keputusan itu diambil melalui proses musyawarah (QS 3: 159).

Seluruh anggota majelis permusyawaratan yang sudah bersepakat wajib hukumnya untuk mematuhi hasil keputusan.

Jika tidak, masuk kategori membangkang, dan tindakan membangkang namanya ‘bughot’ (QS 49: 9).

(Sumber : disampaikan via WAG Almuhajirin oleh ustadz Usin S Artyasa 
yg biasa menyampaikan kajian Hadits di masjid Al Muhajirin setiap Kamis subuh)

Ust. Roni: "Ada Apa Negeri Berkekayaan Alam Melimpah Ruah, tapi Kesulitan Ekonomi Kian Menggurita."

Ketua DKM Al-Muhajirin yang baru: Ir. A. Hasan Munawar Catatan Redaksi: Pelaksanaan Shalat Idul Fitri 1445 H di Masjid Al-Muhajirin RW-10 An...