Kamis, 15 Maret 2018

Pendaftaran dan penitipan hewan qurban 1439 H


Seperti dimaklumi bahwa Idul Adha tahun ini akan jatuh pada hari Rabu tanggal 22 Agustus 2018 atau sekitar lima bulan lagi. 

Untuk menindaklanjuti saran dari para Mudlohi (yang berqurban), warga, dan jamaah, agar hewan qurban tahun ini lebih baik, maka kami telah membentuk tim kecil DKM Al-Muhajirin.

Tim kecil telah memesan sapi sejak awal Pebruari 2018, sehingga setiap Mudlohi kini hanya dikenakan biaya Rp 3 juta (tiga juta rupiah) sudah termasuk biaya pemeliharaan.

Mengingat pembayaran harga sapi ke petani (peternak) dilakukan secara bertahap bulanan mulai Pebruari sd Agustus 2018, maka kami sangat mengharapkan pendaftaran qurban sapi beserta pembayarannya dapat dilakukan mulai saat ini. Sedangkan untuk penitipan hewan kambing/domba dapat kami terima tanggal 21 Agustus mendatang.

Pendaftaran dapat langsung atau menghubungi via Whatsapp/Telpon ke:

1. Ibu Iis Saepudin, Jl Manokwari I/12, 0813.2108.0793
2. Bpk Isa Subarsa, Jl Dili No 19, 0813.9663.8128
3. Bpk Ki Agus Ali, Jl Atambua No 7, 085974475207

Pembayaran dapat dilakukan secara cash/tunai atau ditransfer ke Rekening Mandiri Syariah Cabang Antapani dengan Norek 711.2631.431 an Aris Darmawati.

Ketua DKM Al-Muhajirin, Sigit Tjiptono, sangat mengharapkan agar para calon Mudlohi dapat melakukan pembayaran secara penuh atau dicicil mulai saat ini, agar kami dapat memberikan deposit (DP), terutama biaya itu sangat mereka butuhkan untuk pemeliharaan ternaknya. "Mari kita buktikan ketaatan kita kepada Allah SWT melalui keikhlasan dan semangat tinggi untuk berqurban tahun ini," himbaunya. (nas).

Selasa, 13 Maret 2018

Kisah Salman Al Farisi dan Abu Darda

Sengaja, kata ‘mengharmoniskan’ di sini memakai tanda petik. Sebab, maksudnya bukan berarti rumah tangga sahabat tidak harmonis atau ada percekcokan/ perselisihan. Melainkan, kehidupan asmara di rumah tangga sahabat tersebut kurang ‘bergairah.’

Kisah ini bermula saat Salman Al Farisi berkunjung ke rumah Abu Darda’. Seperti diketahui, Salman Al Farisi dan Abu Darda’ dipersaudarakan oleh Rasulullah pada awal hijrah.

Telah beberapa lama Salman tidak mengunjungi saudaranya itu. Dan kali ini, saat ia berada di rumahnya, ia melihat Ummu Darda’ mengenakan pakaian yang lusuh. Penampilannya tidak sedap dipandang.

“Mengapa engkau tidak berhias?” tanya Salman yang merasa aneh dengan penampilan istri Abu Darda’ itu.

“Saudaramu, Abu Darda’, sudah tidak butuh pada dunia,” jawab Ummu Darda’.

Jawaban itu singkat, namun bagi seorang yang cerdas sekelas Salman yang terkenal dengan ide strategi Khandaq sewaktu Madinah diserang pasukan Ahzab, kalimat itu cukup bisa dimengerti.

Bahwa Abu Darda’ sangat serius beribadah. Bahwa Abu Darda’ menghabiskan waktunya untuk mendekatkan diri kepada Allah. Hingga ia tak lagi mengurus penampilannya. Dan ia juga kurang memberikan perhatian dan memenuhi hak batin istrinya.

Beberapa saat kemudian, datang Abu Darda’. Dua sahabat yang luar biasa ini pun berjumpa. Sebagai bentuk penghormatan kepada tamu sebagaimana sabda Nabi “man kana yu’minu billahi wal yaumil akhiri falyukrim dhaifahu” (barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah ia menghormati tamunya), keluarga Abu Darda’ pun menghidangkan makanan untuk Salman.

“Makanlah wahai Salman. Maaf, aku sedang puasa,” kata Abu Darda’.

“Aku tidak akan makan jika engkau tidak makan,” jawab Salman, tegas.

Abu Darda’ pun luluh. Ia membatalkan puasa sunnahnya. Mereka pun makan berdua.

Malamnya, Salman menginap di rumah Abu Darda.

Ketika dilihatnya Abu Darda bangun hendak shalat malam, Salman menyuruhnya tidur lagi.

“Tidurlah dulu,” kata Salman. Saat malam mendekati akhir, barulah Salman memberitahukan Abu Darda’ untuk shalat malam.

Sebelum pulang, Salman berpesan kepada Abu Darda’:

“Sesungguhnya, bagi Rab-mu ada hak, dan atas badanmu ada hak, dan bagi keluargamu juga ada hak. Maka, tunaikanlah hak masing-masing.”

Ketika berita ini sampai kepada Rasulullah, beliau bersabda, “Salman benar.”

Demikianlah teladan mulia dari generasi paling mulia, generasi sahabat radhiyallahu ‘anhum. Mereka saling mengingatkan, agar hidup istiqamah di bawah naungan Al Qur’an dan Sunnah. Sekaligus hidup seimbang sesuai pedoman keduanya.

Jika dengan alasan ibadah saja kita tidak boleh melupakan hak-hak istri, bagaimana dengan orang-orang yang melupakan hak-hak istrinya karena alasan KERJA dan mengejar KARIR? Padahal ekonominya sudah mapan dan pekerjaan itu sejatinya bisa didelegasikan.

Bagaimana pula orang-orang yang sering tak bisa bertemu anaknya karena ‘GILA KERJA’ dan MENGEJAR JABATAN? Saat ia pulang anak-anaknya telah tidur dan saat ia berangkat anak-anaknya belum bangun.

Tidak sedikit keluarga yang mengalami masalah, sebenarnya bukan karena persoalan ekonomi. Melainkan karena kurangnya kebersamaan. Kurangnya waktu bertemu dan bermesraan. Kurangnya pehatian. Akhirnya sering terjadi miskomunikasi, sering terjadi kesalahpahaman. Hal kecil menjadi masalah besar.

Semoga kita dapat mengambil hikmahnya, barakallahu lana walakum

Billahi sabili al haq...(wag/fb)

Jumat, 09 Maret 2018

Mewaspadai Aliran Sesat


Catatan: Beberapa waktu lalu, DKM Al-Muhajirin Antapani Kidul mengundang KH Athian Ali Dai. Acara yang berlangsung di Masjid Al-Muhajirin itu mengupas topik Mewaspadai Aliran Sesat.

Berikut kupasannya...
Berbagai aliran atau kelompok sesat yang memakai atribut dan nama-nama Islam, sesungguhnya memiliki potensi lebih besar dalam mendangkalkan akidah umat Muslim. Bila berkaca dari pengalaman sejarah di negeri ini, maka hal tersebut memang benar adanya.

Pada dekade 1960-an, masyarakat kita pernah dihebohkan dengan kemunculan kelompok yang menamakan dirinya ‘Islam Murni’ alias ‘Islam Jamaah’. Dari namanya saja sudah terdengar begitu indah.

Padahal, kelompok ini memiliki paham yang justru menyimpang dari ajaran Islam. Salah satunya, mengafirkan orang-orang Muslim yang berada di luar mereka, sekalipun itu adalah keluarga sendiri. Dalam ilmu akidah, paham ini dikenal dengan istilah ‘takfir’.

Tak hanya itu, mereka juga menganggap umat Muslim yang bukan segolongan dengan mereka sebagai najis. Jika ada orang luar melakukan shalat di masjid milik Islam Jamaah, maka bekas tempat shalatnya akan dicuci karena dianggap sudah tidak suci lagi.

Selain itu, kelompok ini juga mengharamkan anggotanya belajar agama Islam, Alquran, dan Hadis selain kepada imam atau amir mereka.

Pada masa Orde Baru, Islam Jamaah dibubarkan pemerintah karena dinilai sudah menimbulkan keresahan di kalangan umat. Namun, sisa-sisa kelompok ini belakangan ternyata ‘bereinkarnasi’ lagi dengan nama baru.

Beberapa tahun lalu, umat Muslim di Tanah Air juga disibukkan oleh persoalan Ahmadiyah. Seperti Islam Jamaah, kelompok ini yang juga menggunakan atribut-atribut Islam dalam pergerakannya. Soal kesesatan Ahmadiyah, saya sudah diketahui oleh semua kalangan, termasuk pelarangan 
dari MUI.

Bagi orang awam atau mereka yang baru pertama kali mendengar nama Islam Murni, Islam Jamaah, dan Ahmadiyah, mungkin akan berpikiran bahwa kelompok-kelompok tersebut memang benar-benar Islami. Padahal, pemahaman yang mereka ajarkan justru melenceng jauh dari prinsip-prinsip Islam.

Bahkan untuk Ahmadiyah, para ulama telah sepakat menyatakan mereka bukan bagian dari Islam. Karena itulah, umat perlu mewaspadai keberadaan aliran sesat yang menggunakan atribut Islam dalam setiap pergerakannya.

Bagaimana mengenali kesesatan ajaran yang ditanamkan oleh sebuah kelompok? Majelis Ulama Indonesia (MUI) menetapkan sepuluh kriteria suatu aliran dapat digolongkan tersesat.

Suatu paham atau aliran keagamaan yang memakai atribut Islam dapat dinyatakan sesat bila memenuhi salah satu dari sepuluh kriteria berikut:

– Mengingkari rukun iman dan rukun Islam.
– Meyakini dan atau mengikuti akidah yang tidak sesuai dalil syar’i (Alquran dan as-Sunnah).
– Meyakini turunnya wahyu setelah Alquran.
– Mengingkari otentisitas dan atau kebenaran isi Alquran.
– Melakukan penafsiran Alquran yang tidak berdasarkan kaidah tafsir.
– Mengingkari kedudukan Hadits Nabi sebagai sumber ajaran Islam.
– Melecehkan dan atau merendahkan para Nabi dan Rasul.
– Mengingkari Nabi Muhammad SAW sebagai Nabi dan Rasul terakhir.
– Mengubah pokok-pokok ibadah yang telah ditetapkan syariah.
– Mengkafirkan kaum Muslim tanpa dalil syar’i.


Ada tiga alasan mengapa masyarakat bisa terajak untuk mengikuti ajaran sesat dengan mudah.

“Pertama, karena ketidakmengertian dan ketidakpahaman umat terhadap hal yang benar dan yang salah menurut aturan Allah,” ujar Ustaz Athian.

Menurutnya, ketidakpahaman tersebut muncul karena banyak umat Islam yang tidak mempelajari Islam dan isi Al-Quran secara keseluruhan. Akibatnya, mereka mudah dipengaruhi dengan pola pikir sesat. Karena akidah mereka tidak terbangun dengan kuat, katanya, maka sulit pula menyadarkan mereka ke ajaran yang benar.

“Kedua, banyak aliran sesat yang menjanjikan Surga tanpa harus bersusah payah beribadah. Misalnya ajaran Syiah. Anda bisa masuk Surga tanpa harus melaksanakan salat wajib lima waktu. Salat mereka hanya tiga waktu,” sambungnya.

Alasan ketiga, lanjutnya, adalah dihalalkannya perzinahan. Ia berpendapat, hampir semua aliran sesat menghalalkan perzinahan. Bahkan di ajaran Syiah, ujarnya, mereka menganjurkan nikah mut’ah (nikah kontrak).

“Menurut kitab Syiah, orang yang melakukan nikah Mut’ah akan terlepas dari api neraka. Dosa-dosanya diampuni, terutama bagi perempuan yang melakukannya. Sungguh ajaran yang keji dan sangat tidak memuliakan kaum perempuan,” ungkap Ustaz Athian.

Ustaz Athian berpesan, umat Islam sepatutnya terus berupaya mendekatkan diri pada Allah dalam kondisi apapun. “Dengan begitu, kita bisa membedakan hal yang benar dan yang salah dalam pandangan Allah. Insya Allah, Allah akan menuntun kita menuju jalan yang diridhoi-Nya,” pungkasnya
.

Sabtu, 03 Maret 2018

Kiprah Agama dalam Perpolitikan Indonesia

Indonesia adalah cerita panjang tentang polarisasi budaya, kesamaan beban sejarah, gerakan agama dan ideologi. Berangkat dari kemajemukan bangsa saat itu, membuat para pendiri bangsa berpikir kritis ihwal alasan apa yang paling bisa mengikat keberagaman itu, apa yang bisa mengikat seluruh gugusan pulau, suku, budaya, agama dan aliran yang ada menjadi satu keluarga besar bernama Indonesia.

Itulah karya terbesar dari pendiri bangsa ini, yaitu menyatukaan perbedaan semua dalam wadah besar bernama Indonesia.
Mereka merumuskan Pancasila sebagai nilai pengikat dasar keragaman, karenanya dia menjadi unsur perekat dan falsafah dasar negara ini. Sudah barang tentu kita tidak bisa begitu saja menghapus rekam jejak sejarah bangsa ini, saat elit bangsa berdebat dalam sidang-sidang Majelis Konstituante yang seluruh anggotanya juga mewakili wajah Indonesia yang majemuk, semua aliran politik ada disana.

Melalui pemilu perdana tahun 1955 rakyat Indonesia telah memilih perwakilan mereka yang duduk di lembaga DPR dan menjadi anggota konstituante, sebab Soekarno meyakinkan para anggota PPKI bahwa, “Biarlah kita merdeka terlebih dahulu dan UUD 45 ini sebagai konstitusi sementara dan akan kita revisi melalui hasil pemilu nanti.”

Akhirnya lewat dekritnya tahun 1959, Presiden Soekarno memerintahkan untuk kembali kepada UUD 1945, karena melihat alotnya perdebatan dan deadlock pembahasan mengenai dasar negara kala itu. Suara ummat Islam lebih menginginkan agar Piagam Jakarta masuk dalam UUD 1945 seperti awal.

Bagi politisi Islam kala itu adalah kesempatan legal memperjuangkannya kembali. Dekrit tersebut telah memupus harapan mereka untuk memperjuangkan Piagam Jakarta. Tak pelak beberapa tokoh Islam mulai bermusuhan dengan Bung Karno karena dianggap melanggar komitmennya saat mengawali kemerdekaan dahulu.

Tahun 1945, Bung Hatta sebagai anggota tim 9 membawa hasil lobi atas nama perwakilan golongan Nasionalis dan perwakilan suara Indonesia Timur dengan membawa empat poin perubahan. Di antaranya menghilangkan tujuh kata dalam Piagam Jakarta dan bisa diterima perwakilan tokoh Islam saat itu. Jadi sejak dahulu isu relasai agama dan negara sudah masuk ranah sensitif di negeri ini.

Beberapa sejarawan menyebut, itulah “pajak politik” yang dibayar umat Islam lewat kekuatan politiknya kala itu untuk menerima bahwa biarlah Pancasila menjadi wadah bersama yang menampung seluruh Kebhinekaan Indonesia. Biarlah Pancasila menjadi taman besar Indonesia, tempat seluruh komponen anak bangsa dengan keberagaman warnanya menghiasi taman Indonesia menjadi tempat tinggal bersama dan rukun di dalamnya.

Agama dan kenih keindonesiaan

Gerakan agama lebih dahulu masuk ke bumi Nusantara sebelum kita menjadi Indonesia, bahkan saham besar terbentuknya Indonesia ini karena peranan Agama Islam dan penganutnya. Nusantara ini telah berabad-abad berjaya dengan Kerajaannya masing-masing. Agama datang ke Nusantara dengan pelbagai caranya, namun intinya dia masuk secara damai.

Tidak ada satu agama yang masuk kemudian menindas agama yang lain. Islam datang dengan pendekatan dakwah yang humanis oleh para Da’i , membuat para Raja dan penguasa kala itu berpindah keyakinan menjadi Muslim dan diikuti rakyatnya. Semua masuk secara aman dan damai tanpa pertumpahan darah, dan jadilah Islam sebagai agama mayoritas di Nusantara.

Cerita panjang Agama di Nusantara menjadi saksi bahwa sejatinya Indonesia adalah tanah subur untuk menanam benih keimanan semua agama. Nusantara memikul beban sejarah yang sama, bahwa dijajah dan ditindas oleh bangsa lain itu tidak ada yang enak. Bukan saja negeri ini di eksploitasi kolonial, tapi membuat wajah bangsa ini menjadi terhina dan berpecah belah.

Lantas apakah faktor dominan yang membuat seluruh Nusantara bisa mengangkat senjata melawan penjajah ketika itu? Siapakah yang memimpin gerakan perlawanan tersebut? Jawabannya adalah agama. Ya dari agama, kita diajarkan membela tanah yang kita pijak. Dari agama kita diajarkan mempertahankannya, dan itu semua terjadi sebelum kita menjadi Indonesia.

Kenalilah para pahlawan masa pra kemerdekaan, mereka semua lahir dari masjid-masjid, dari surau-surau, juga muncul dari Gereja-gereja. Tempat Ibadah melahirkan mereka semua, sekaligus bukti agama telah mengambil peran pentingnya melahirkan spirit kemerdekaan.

Mereka yang lahir dari rumah Ibadah tersebut sekaligus memimpin perjuangan mengusir para penjajah. Janganlah kita memperkosa sejarah Indonesia ini dengan cara “mencoba-coba” mengkerdilkan peranan agama atau bahkan menghilangkannya. Bahkan saat SMA dulu ada mata pelajaran PSPB atau Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa, sebuah cover buku tersebut dengan melukiskan Pangeran Dipenogoro sedang di atas Kuda mempimpin perang dengan membawa bendera Merah Putih.

Padahal itu tahun 1825, beliau sendiri belum tahu ada Negara Indonesia, apalagi benderanya. Maksud saya, kita harus jujur bahwa dulu nilai apa yang mendasari beliau berjuang kala itu, pasti untuk Agama. Kesamaan sejarah dijajah sekian lama oleh penjajah yang sama telah membuat ikatan emosional bangsa di Nusantara ini menjadi sama.

Merasakan pahit yang sama, ditindas bersama, suka duka bersama. Bahkan kendati tidak ada media sosial kala itu, namun cerita perlawanan di pelbagai pulau di Nusantara ini telah merajut benih-benih keindonesiaan mereka.

Generasi berganti namun sejarah terwariskan dalam relung hati mereka untuk membangkitkan kesadaran bersatu melawan musuh dengan satu ikatan yang lebih luas, lebih besar lagi, yang bisa menyatukan seluruh ego kedaerahan atau bahkan agama, yaitu semangat Keindonesiaan.

Kita sudah melampaui semua era dalam ujian bernegara dan semua jenis ujian telah bangsa ini lalui. Semua negara secara Sunnatullah akan melalui titik-titik krusial dalam ujian menjaga integritas negaranya, apalagi kemajemukan adalah salah satu potensi adanya disintegrasi itu sendiri.

Kita telah memilih demokrasi sebagai jalan politik mengelola kedaulatan negeri ini. Kekuasaan dapat berpindah tangan dari satu kepada yang lain secara legal melalui demokrasi. Prinsipnya demokrasi adalah pasar bebas bagi semua aliran politik untuk mencari legalitas rakyat secara konstitusional. Demokrasi sudah melalui banyak era di negeri ini dan diterjemahkan oleh rezim yang ada.

Kita sudah meninggalkan era demokrasi orde baru yang hanya menjadikan lips service, suara aspirasi rakyat sebagai hak asasi manusia dikerangkeng, negara atas nama demokrasi mengatur ketat warganya. Isu SARA dimainkan agar negara bisa menertibkan , pokoknya hanya negara yang memiliki tafsir tunggal tentang berbicara, berkelempok, keadilan, dsb.

Generasi Indonesia baru yang hidup di era reformasi kini tetap saja memiliki pijakan ailran ideologi yang pernah ada di Bumi Pertiwi ini. Jika memang kita tak menyebutkannya dengan sama. Pasar demokrasi selalu ramai dengan memberi kesempatan yang sama, tak ada yang melarang pelbagai partai politik dari pelbagai latar belakang ideologinya.

Indonesia masa kini adalah Indonesia yang tidak melupakan akar sejarah kelahirannya, keberagaman yang menyatu, perbadaaan yang harmoni. Nilai-nilai luhur bangsa ini harus terwariskan kepada generasi, kita adalah jembatan untuk mereka. Demokrasi yang menghargai perbedaan, tidak kasar dan tidak menyakiti atas nama keberagaman untuk mengambil manfaat.

Sistem demokrasi sekarang tidaklah mungkin mengkerdilkan simpul-simpul ideologi hanya menjadi satu atau dua, karena itu belum mewakili keindonesiaan kita. Namun kita juga bukan penganut demokrasi liberal, karena terlalu banyak, maka tidak efektif mengelola negara.

Politik aliran sampai sekarang masih diyakini keberadaanya, secara kasar semua kekuatan politik di Indonesia bisa disederhanakan menjadi Nasionalis, Islam dan Marxisme (Soekarno, 1964) atau seperti yang dikutip dalam buku Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965. Bahwa ada lima aliran politik Indonesia: (1) Nasionalisme radikal, (2) Tradisionalisme, (3) Islam, (4) Sosialisme demokratis dan (5) Komunisme, (Feith dan Castles 1988,LIV).

Kita bahkan bisa melihat sejarah Pemilu Presiden 2014, ketika kontalasi politik saat itu memaksa negeri hanya menjadi dua blok saja, semua politik aliran akan memilih muaranya. Kubu Islam sebagian besar lebih memilih Prabowo. Kini terulang dalam Pilkada Ibu Kota 2017. Umat Islam memilih pasangan Anies.

Seharusnya, sekarang bukan lagi era membentur-benturkan ideologi tersebut, kembali mempersoalkan korelasi nasionalisme dan Islam, karena kita mendiami bumi yang sama. Bahkan partai yang paling kiri sudah cenderung masuk ke tengah dan sebaliknya. Jika nasionalisme menyebut “rakyat”, maka kubu Islam menyebut “Ummat”. Padahal membela rakyat sama saja membela ummat.

Dulu teriakan yang lantang di Surabaya adalah kalimat “Allahu Akbar dan Merdeka!” tidak mereka dikotomikan kalimat itu karena saling menguatkan. Adalah satu kekerdilan kita, jika hanya memandang Indonesia dengan kacamata tunggal, sehingga tidak menganggap adanya komponen politik yang sudah kokoh di negeri ini.

Adalah cermin kedangkalan hati dalam melihat perilaku pemilih di Indonesia, dimana agama adalah satu variabel yang secara ilmu elektoral menjadi pasar. Wajar jika ada yang menginginkannya. Itu sebabnya jika mendekati pemilu apapun simbol-simbol untuk menarik simpati ummat Islam selalu menggoda.

Ummat Islam sejak awal sudah mengambil kiprahnya di Nusantara ini sampai pada akhirnya menjelma menjadi kekuatan politik di Indonesia. Saya pikir mengesampingkan Islam dari sudut ini, sama saja Anda tidak utuh memandang Indonesia itu sendiri.
(Syukri Wahid, Pengamat Sosial Politik Kaltim)

Ust. Roni: "Ada Apa Negeri Berkekayaan Alam Melimpah Ruah, tapi Kesulitan Ekonomi Kian Menggurita."

Ketua DKM Al-Muhajirin yang baru: Ir. A. Hasan Munawar Catatan Redaksi: Pelaksanaan Shalat Idul Fitri 1445 H di Masjid Al-Muhajirin RW-10 An...