Selasa, 17 Maret 2020

Permasalahan Fiqih Terkait Corona

Oleh: Ustadz DR. Firanda Andirja, Lc MA

Baru-baru saja WHO menyatakan bahwa virus corona (covid 19) telah meningkat derajat penyebarannya dari wabah menjadi epidemi dan akhirnya sekarang menjadi pendemi. Yaitu penyebarannya sudah internasional, dan negara-negara internasional gagal dalam membendung penyebaran tersebut. Dan telah mencapai lebih dari 100 ribu kasus hingga saat ini, dan kematian telah mencapai ribuan. Yang menjadi spesifik dari covid 19 adalah penyebarannya yang begitu cepat dan begitu mudah, berbeda dengan virus-virus yang sebelumnya. Dan qodarullah kota Jakarta tercinta telah terjangkiti wabah covid 19, dan setiap hari semakin banyak yang terjangkiti.

Berikut beberapa permasalahan fikih yang berkaitan dengan tersebarnya virus corona.

A. Terkait Masuk dan Keluar dari Kota yang Terkena Wabah

Pertama : Jika mendengar ada corona terjadi di sebagian kota maka orang-orang yang berada di luar kota tersebut tidak boleh masuk ke kota tersebut. Nabi shallallahu ‘alaihissam bersabda:

فَإِذَا سَمِعْتُمْ بِهِ بِأَرْضٍ، فَلاَ تَقْدَمُوا عَلَيْهِ، وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ، وَأَنْتُمْ بِهَا فَلاَ تَخْرُجُوا، فِرَارًا مِنْهُ

“Jika kalian mendengar tentang thoún di suatu tempat maka janganlah mendatanginya, dan jika mewabah di suatu tempat sementara kalian berada di situ maka janganlah keluar karena lari dari thoún tersebut” (HR Al-Bukhari 3473 dan Muslim no 2218)

Adapun hikmah tidak mendatangi ke area tersebut adalah agar tidak tertular, sebagaimana sabda Nabi shallallahu álaihi wasallam,

فِرَّ مِنَ الْمَجْذُومِ فِرَارَكَ مِنَ الْأَسَدِ

“Larilah dari orang yang kusta sebagaimana engkau lari dari singa” (HR Ahmad no 9722 dan dishahihkan oleh al-Arnauth dan Al-Albani di As-Shahihah no 783)

Ini menunjukan seseorang berusaha dengan sungguh-sungguh agar menghindar dari orang yang sedang berpenyakit menular, karena Nabi shallallahu álaihi wasallam menyuruh untuk lari seperti lari dari ganasnya singa. Dan Allah berfirman :

وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ

“Dan janganlah kalian menjerumuskan diri kalian ke dalam kebinasaan” (QS Al-Baqoroh : 195)

Kedua : Barang siapa yang berada di lokasi wabah maka tidak boleh keluar dari lokasi tersebut jika karena ingin menghindar, karena sabda Nabi di atas. Ada beberapa hikmah yang disebutkan oleh para ulama tentang sebab larangan ini, diantaranya :

Pertama : Agar wabah tersebut tidak lebih luas penyebarannya. Nabi shallallahu álaihi wasallam bersabda :

لاَ تُورِدُوا المُمْرِضَ عَلَى المُصِحِّ

“Dan janganlah membawa onta yang sakit kepada onta yang sehat” (HR Al-Bukhari no 5774 dan Muslim no 2221)

Kedua : Jika semua orang sepakat untuk keluar dari lokasi maka jadilah orang yang tidak mampu untuk keluar -karena sudah parah- tidak akan ada yang mengurusi mereka, baik dalam kondisi ia sakit atau setelah ia meninggal. Yaitu jika dia sakit tidak ada yang merawatnya, dan jika ia meninggal maka tidak ada yang menguburkannya.

Ketiga : Jika dibolehkan untuk keluar dari lokasi wabah maka orang-orang yang kuat akan keluar dan tentu ini akan menghancurkan hati orang-orang yang tidak mampu keluar karena mereka ditinggalkan oleh saudara-saudara mereka. Demikian juga semakin memasukkan rasa takut ke dalam hati mereka.

Keempat : Dengan tidak keluar maka orang-orang yang bertahan hidup mampu untuk memiliki kemampuan menghadapi penyakit tersebut dengan kondisi cu

aca yang ada. Bisa jadi jika mereka keluar kondisinya berbeda. Berkaitan dengan corona ternyata lebih banyak yang bertahan hidup daripada yang meninggal.

Kelima : Sangat memungkinkan bahwa orang yang keluar lantas selamat maka ia akan berkata, “Seandainya aku bertahan (tidak keluar) tentu aku akan terkena wabah”, dan sebaliknya yang terkena wabah akan berkata, “Seandainya aku keluar tentu aku akan selamat”. Dan perkataan “seandainya” yang seperti ini dilarang oleh syariát. (Lihat poin kedua hingga kelima di Fathul Baari 10/189)

Keenam : Orang yang keluar akan melewatkan dirinya dari kesempatan untuk meraih pahala mati syahid. Karena jika ia bertahan dengan sabar maka ia akan mendapatkan pahala mati syahid apakah ia meninggal ataukah sakit lalu sembuh, atau tidak terkena wabah sama sekali. (Lihat: 

Al-Fatawa al-Fiqhiyah al-Kubro 4/10-11)

Karena barang siapa yang bersabar untuk tidak keluar dari lokasi wabah karena mencari wajah Allah maka ia mendapatkan pahala mati syahid meskipun ia selamat, dengan syarat ia tidak mengeluh.

Ibnu Hajar al-Haitami berkata :

أَنَّ أَجْرَ الشَّهِيدِ إنَّمَا يُكْتَبُ لِمَنْ لَمْ يَخْرُجْ مِنْ بَلَدِ الطَّاعُونِ، وَأَقَامَ قَاصِدًا ثَوَابَ اللَّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى رَاجِيًا صِدْقَ وَعْدِهِ عَارِفًا أَنَّهُ إنْ وَقَعَ لَهُ أَوْ صَرَفَهُ عَنْهُ فَهُوَ بِتَقْدِيرِ اللَّهِ غَيْرَ مُتَضَجِّرٍ بِهِ إنْ وَقَعَ بِهِ
“Pahala mati syahid hanyalah tercatat bagi orang yang tidak keluar dari daerah wabah thoún, dan ia menetap karena mencari pahala dari Allah, berharap janji Allah, menyadari bahwa jika wabah tersebut menimpanya atau terhindar darinya semuanya dengan taqdir Allah, dan ia tidak mengeluh jika menimpanya” (Al-Fatawa al-Fiqhiyah al-Kubro 4/14)

Lari keluar dari lokasi wabah merupakan dosa besar, karena disamakan seperti lari dari medan pertempuran, sementara lari dari medan pertempuran merupakan dosa besar. Nabi shallallahu álaihi wasallam bersabda :

الْفَارُّ مِنَ الطَّاعُونِ، كَالْفَارِّ مِنَ الزَّحْفِ

“Orang yang lari dari wabah tho’un seperti orang yang lari dari medan pertempuran” (HR Ahmad no 14477 dan dinilai hasan lighoirihi oleh al-Arnauth dan juga al-Albani di as-Shahihah no 1292)

Ketiga : Yang dilarang adalah lari dari lokasi wabah karena ingin terhindar dari wabah, yaitu berdasarkan sabda Nabi فِرَارًا مِنْهُ “karena lari dari wabah”. Adapun jika seseorang keluar dari lokasi wabah karena ada keperluan lain maka hal ini tidaklah mengapa. Contoh ia keluar dari lokasi wabah karena ada tugas dan pekerjaan, atau karena harus menjenguk orang tua dan karena hal-hal yang lain, yang tentunya hanya Allah yang mengetahui niatnya yang sesungguhnya.

An-Nawawi berkata :

أما الْخُرُوْجُ لِعَارِضٍ فَلاَ بَأْسَ بِهِ… وَاتَّفَقُوا عَلَى جَوَازِ الْخُرُوجِ بِشُغْلٍ وَغَرَضٍ غَيْرِ الْفِرَارِ

“Adapun keluar dari lokasi wabah karena ada keperluan (bukan untuk menghindar dari wabah) maka tidak mengapa….dan para ulama sepakat akan bolehnya keluar karena pekerjaan atau tujuan lain selain menghindar dari wabah” (Al-Minhaaj Syarh Shahih Muslim 14/205-207)

Ibnu Hajar al-Ásqolani berkata :

وَمَنْ خَرَجَ لِحَاجَةٍ مُتَمَحِّضَةٍ لَا لِقَصْدِ الْفِرَارِ أَصْلًا وَيُتَصَوَّرُ ذَلِكَ فِيمَنْ تَهَيَّأَ لِلرَّحِيلِ مِنْ بَلَدٍ كَانَ بِهَا إِلَى بَلَدِ إِقَامَتِهِ مَثَلًا وَلَمْ يَكُنِ الطَّاعُونُ وَقَعَ فَاتَّفَقَ وُقُوعُهُ فِي أَثْنَاءِ تَجْهِيزِهِ فَهَذَا لَمْ يَقْصِدِ الْفِرَارَ أَصْلًا فَلَا يَدْخُلُ فِي النَّهْيِ

“Barang siapa yang keluar karena murni kebutuhan bukan sama sekali karena hendak menghindar dari wabah, dan kondisi ini bisa tergambarkan pada orang yang hendak bersiap bersafar dari suatu negeri yang ditinggalinya menuju negeri tempa menetapnya misalnya, dan wabah thoún belum mewabah, lalu tiba-tiba bertepatan muculnya wabah dengan kondisinya yang hendak bersafar, maka orang ini sama sekali tidak bermaksud untuk menghindar dari wabah, maka ia tidak termasuk dalam larangan” (Fathul Baari 10/188)

Namun tetap saja seseorang yang merasa sehat ketika harus meninggalkan kota wabah karena ada keperluan maka hendaknya ia benar-benar memperhatikan segala kemungkinan, jangan sampai ia malah memindahkan virus yang masih dalam masa inkubasi dalam dirinya. Jika dia pun harus keluar maka jangan berkontak dengan siapapun hingga selesai masa inkubasi (sekitar 2 minggu) untuk memastikan bahwa ia telah sehat dan bebas corona. Wallahu a’lam.

Keempat : Jika ternyata wabah sudah menyebar dan kasusnya sama antara kota A dan kota B atau serta kota C, maka tidak mengapa seseorang masuk dan keluar dari dan menuju kota-kota tersebut, karena sama hukumnya, sama-sama lokasi wabah. Ibnu Hajar al-Haitami

لَوْ عَمَّ إقْلِيمًا لَمْ يَحْرُمْ الْخُرُوجُ مِنْ بَعْضِ قُرَاهُ إلَى بَعْضٍ؛ لِأَنَّهُ لَا فِرَارَ حِينَئِذٍ أَلْبَتَّةَ

“Jika wabah telah meliputi suatu negara maka tidak mengapa keluar dari satu daerahnya ke daerah yang lain, karena pada kondisi demikian tidak ada bentuk lari lagi” (Al-Fataawa al-Fiqhiyah al-Kubro 4/11)

B. Terkait Shalat Berjamaáh

Pertama : Boleh meninggalkan shalat berjamaáh dan shalat jumát.

Jika kota telah ditetapkan sebagai kota wabah, dan sudah semakin banyak korban maka tidak mengapa seseorang untuk tidak shalat berjamaáh dan bahkan tidak mengapa untuk meninggalkan shalat jumát.

Hal ini karena diantara hal yang bisa menjadikan kewajiban berjamaáh adalah hujan, takut, sakit, angin kencang, dan semisalnya, maka bagaimana lagi dengan kawatir dengan virus yang bisa menimbulkan kematian dan tersebar begitu cepat.

Kaidah pertama : Semua udzur yang membolehkan untuk meninggalkan shalat berjamaáh itulah juga udzur untuk membolehkan meninggalkan shalat jumát

أَعْذَارٌ فِي تَرْكِ الْجَمَاعَةِ، هِيَ أَعْذَارٌ فِي تَرْكِ الْجُمْعَةِ، فَلاَ تَجِبُ الْجُمْعَةُ عَلَى خَائِفٍ عَلَى نَفْسِهِ أَوْ مَالِهِ، وَلاَ عَلَى مَنْ فِي طَرِيْقِهِ مَطَرٌ، وَلاَ عَلَى مَنْ لَهُ مَرِيْضٌ يَخَافُ ضَيَاعَهُ

“Udzur-udzur yang membolehkan meninggalkan shalat berjamaáh itulah udzur untuk meninggalkan shalat jumát. Maka tidak wajib jumát bagi orang yang takut atas (keburukan menimpa) dirinya, atau menimpa hartanya, demikian juga orang yang kehujanan dalam perjalanannya (menunju masjid), demikian orang yang sedang mengurusi orang sakit yang dikawatirkan akan terlalaikan (jika ia meninggalkannya untuk shalat jumát)” (Al-Bayaan fi madzhab al-Imam Asyafií 2/545)

Kaidah kedua : Udzur-udzur tersebut bersifat umum yaitu semua hal yang menimbulkan kesulitan. An-Nawawi berkata :

أَنَّ بَابَ الْأَعْذَارِ فِي تَرْكِ الْجُمُعَةِ وَالْجَمَاعَةِ لَيْسَ مَخْصُوصًا بَلْ كُلُّ مَا لَحِقَ بِهِ مَشَقَّةٌ شَدِيدَةٌ فَهُوَ عُذْرٌ وَالْوَحَلُ مِنْ هَذَا

“Sesungguhnya permasalahan udzur-udzur yang membolehkan meninggalkan shalat jumát dan shalat berjamaáh bukanlah udzur khusus, akan tetapi semua yang mendatangkan kesulitan yang berat maka termasuk udzur. Dan becek termasuk udzur” (Al-Majmuu’ Syarh al-Muhadzzab 4/384)

Jika becek dan hujan saja bisa menjadi udzur untuk meninggalkan shalat jumát dan shalat berjamáah maka apalagi kawatir terkena penyakit korona yang bisa merenggut nyawa, bukan nyawa sendiri bahkan nyawa keluarga dan banyak orang (karena resiko penularan yang begitu cepat). Demikian juga orang yang sakit dan yang kawatir terkena penyakit maka boleh meninggalkan shalat berjamaáh dan shalat jumát.

Al-Mardawi berkata :

{وَيُعْذَرُ فِي تَرْكِ الْجُمُعَةِ وَالْجَمَاعَةِ الْمَرِيضُ} بِلَا نِزَاعٍ، وَيُعْذَرُ أَيْضًا فِي تَرْكِهِمَا لِخَوْفِ حُدُوثِ الْمَرَضِ

“Dan orang yang sakit diberi udzur untuk meninggalkan shalat jumát dan shalat berjamaáh tanpa ada perselisihan. Dengan diberi udzur juga untuk meninggalkan shalat jumát dan shalat berjamaáh karena ketakutan munculnya penyakit” (Al-Inshoof 2/300)

Jika seseorang boleh meninggalkan shalat berjamaáh karena makanan yang sudah hadir dan juga karna menahan buang air karena pikirannya tersibukan tidak bisa khu

syu’, maka terlebih lagi ketakutan terhadap virus corona. Bagaimana seseorang shalat sementara pikirannya paranoid terhadap dirinya dan orang-orang disekitarnya. Terlebih lagi virus corona tidak kelihatan, dan juga orang yang terjangkiti virus tersebut bisa jadi tidak langsung nampak tanda-tandanya. Bisa jadi ia merasa sehat ternyata ia terjangkiti, lantas ia berinterakasi dengan orang-orang lain akhirnya ia ikut menularkan virus tersebut.

Juga berdasarkan kaidah fikih دَفْعُ الْمَضَارِّ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصَالِحِ “Menolak kemudorotan didahulukan daripada meraih kemaslahatan”

Alhamdulillah ulama al-Lajnah ad-Daimah (Arab Saudi) telah mengeluarkan fatwa pada tanggal 7 Rajab 1441 (12 Maret 2020) yang berkaitan dengan virus corona, diantara poin-poin fatwa tersebut :

مَنْ خَشِيَ أَنْ يَتَضَرَّرَ أَوْ يَضُرُّ غَيْرَهُ فَيُرَخَّصُ لَهُ فِي عَدَمِ شُهُوْدِ الْجُمُعَةِ وَالْجَمَاعَةِ لِقَوْلِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ) رَوَاهُ ابْنُ مَاجَهَ، وَفِي كُلِّ مَا ذُكِرَ إِذَا لَمْ يَشْهَدِ الْجُمُعَةِ فَإِنَّهُ يُصَلِّيْهَا ظُهْراً أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ

“Barangsiapa yang kawatir mendapatkan kemudorotan atau memberi kemudorotan kepada orang lain maka ia diberi keringanan untuk tidak menghadiri shalat jumát dan shalat jamaat, berdasarkan sabda Nabi لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ “Tidak boleh melakukan mudorot pada diri sendiri dan juga memudorotkan orang lain” (HR Ibnu Majah). Dan pada kesemuanya jika seseorang tidak menghadiri shalat jumát maka ia menggantinya dengan shalat dzuhur 4 rakaát” (https://www.spa.gov.sa/2047028)

Kedua : Apakah dalam azan sudah perlu mengucapkan “Sholluu fii Rihaalikum” (Shalatlah kalian di rumah-rumah kalian)”?

Jika memang wabah sudah mencapai tingkat penyebaran yang tinggi di sebuah kota maka tidak mengapa muadzin tatkala mengumandangkan adzan mengucapkan lafal tersebut, agar orang-orang shalat di rumah-rumah mereka.

Ketiga : Boleh shalat memakai masker

Hukum shalat dengan menutup mulut adalah makruh menurut 4 madzhab (Lihat : Badaí Ash-Shanai’ 1/216, Syarh Mukhtashor al-Kholil 1/250, Al-Majmuu’ 3/179, dan Al-Mughni 1/419) karena menyerupai orang-orang majusi tatkala beribadah atau karena bentuk berlebihan dalam beribadah. Hal ini berdasarkan hadits Abu Hurairah radhiallahu ánhu bahwasanya Nabi shallallahu álaihi wasallam melarang di dalam shalat

أنْ يُغَطِّيَ الرجلُ فَاهُ

“Seseorang menutup mulutnya” (HR Abu Daud no 643 dan Ibnu Majah no 966, dan dihasankan oleh Al-Arnauuth dan al-Albani di al-Misykaah no 764)

Namun hukum ini berubah jika ada kebutuhan seperti jika seseorang menguap maka ia bisa menutup mulutnya (Lihat Maáalim as-Sunan, al-Khottobi 1/179), demikian juga jika karena pekerjaannya (Lihat Mawahibul Jalil 1/503), atau karena penyakit (Lihat Majmuu Fataawa Ibn Baaz 11/114), maka demikian pula jika ia takut tertular penyakit atau takut menularkan penyakit.

Jika wabah di suatu kota belum parah dan masih memungkinkan untuk shalat berjamaáh maka tidak mengapa seseorang shalat sambil memakai masker.

Ketiga : Hukum qunut nazilah disaat wabah menyebar kuat

Para ulama sepakat disyariátkannya qunut jika ada musibah (nazilah) yang menimpa kaum muslimin. Hanya saja mereka berselisih bagaimana jika musibah tersebut adalah wabah?. Secara umum para ulama berselisih menjadi dua pendapat.

Pertama : Dianjurkan untuk qunut nazilah meskipun karena wabah. Ini adalah pendapat mayoritas ulama (Hanafiyah, Malikiyah, dan Syafiíyah).

An-Nawawi berkata :

الصَّحِيحُ الْمَشْهُورُ أَنَّهُ إِنْ نَزَلَتْ نَازِلَةٌ كَعَدُوٍّ وَقَحْطٍ وَوَبَاءٍ وَعَطَشٍ وَضَرَرٍ ظَاهِرٍ فِي الْمُسْلِمِينَ وَنَحْوِ ذَلِكَ قَنَتُوا فِي جَمِيعِ الصَّلَوَاتِ الْمَكْتُوبَةِ

“Dan yang benar dan masyhur bahwasanya jika terjadi musibah seperti musuh (yang menyerang), musim kekeringan, wabah, dan kemudorotan yang jelas pada kaum muslimin dan musibah yang semisalnya maka kaum muslimin melakukan qunut di seluruh shalat lima waktu” (Al-Minhaaj Syarh Shahih Muslim 5/176)

Asy-Syirbini berkata :

يُسَنُّ (الْقُنُوتُ) بَعْدَ التَّحْمِيدِ (فِي) اعْتِدَالِ أَخِيرَةٍ (سَائِرٍ) أَيْ بَاقِي (الْمَكْتُوبَاتِ لِلنَّازِلَةِ) الَّتِي نَزَلَتْ كَأَنْ نَزَلَ بِالْمُسْلِمِينَ خَوْفٌ أَوْ قَحْطٌ أَوْ وَبَاءٌ أَوْ جَرَادٌ أَوْ نَحْوُهَا

“Disunnahkan untuk qunut setelah “samiállahu liman hamidah rabbana lakal hamdu” di i’tidal rakaat yang terakhir di seluruh shalat lima waktu karena ada nazilah (musibah) yang menimpa. Seperti kaum muslimin ditimpa dengan ketakutan, musim kering, wabah, belalang, dan yang semisalnya” (Mughnil Muhtaaj 1/317)

Kedua : Tidak dianjurkan untuk qunut nazilah jika karena wabah, dan ini adalah pendapat madzhab Hanbali.

Al-Buhuti berkata :

لَا يَقْنُتُ لِرَفْعِ الْوَبَاءِ فِي الْأَظْهَرِ، لِأَنَّهُ لَمْ يَثْبُتْ الْقُنُوتُ فِي طَاعُونِ عَمَوَاسَ، وَلَا فِي غَيْرِهِ وَلِأَنَّهُ شَهَادَةٌ لِلْأَخْيَارِ، وَلَا يُسْأَلُ رَفْعُهُ

“Tidak qunut untuk menghilangkan wabah menurut pendapat hambali yang lebih kuat, karena tidak ada dalil adanya qunut dikarenakan thoún ámawas dan thoún yang lainnya, dan karena wabah adalah pahala mati syahid bagi orang-orang yang baik, dan tidak berdoa untuk menghilangkannya” (Syarh Muntahaa al-Irodaat 1/242)

Pendapat yang terkuat adalah pendapat jumhur (mayoritas) ulama, karena asalnya kita disyariátkan untuk berdoa dalam rangka menghilangkan musibah. Para ulama (termasuk ulama madzhab Hanbali) sepakat jika ada musuh yang menyerang maka maka boleh untuk melakukan qunut nazilah, padahal datangnya musuh juga merupakan sebab untuk meraih pahala mati syahid. Jika demikian maka boleh juga qunut untuk dihilangkannya wabah, meskipun wabah juga merupakan sebab mati syahid. Demikian juga jika boleh qunut karena musim kering maka wabah lebih berbahaya.

Ini adalah pendapat yang dipilih oleh para ulama al-Lajnah ad-Daaimah (Arab Saudi). Mereka berkata :

أَمَّا الْقُنُوْتُ فِي الصُّبْحِ وَفِي غَيْرِهَا مِنَ الصَّلَوَاتِ الْخَمْسِ فَلاَ يُشْرَعُ بَلْ هُوَ بِدْعَةٌ إِلاَّ إِذَا نَزَلَ بِالْمُسْلِمِيْنَ نَازِلَةٌ مِنْ عَدُوٍّ أَوْ غَرْقٍ أَوْ وَبَاءٍ أَوْ نَحْوِهَا فَإِنَّهُ يُشْرَعُ الْقُنُوْتُ لِرَفْعِ ذَلِكَ

“Adapun qunut dalam shalat subuh dan shalat-shalat lima waktu yang lainnya maka tidak disyariátkan, bahkan itu adalah bidáh. Kecuali jika ada musibah yang menimpa kaum muslimin seperti datangnya musuh, atau tenggelam (karena banjir dan lainnya-pen), atau wabah, atau yang semisalnya, maka disyariátkan qunut untuk diangkatnya musibah tersebut” (Fataawa al-Lajnah ad-Daaimah 7/46 no 2222)

Catatan :

Para ulama berselisih apakah qunut nazilah dilakukan di semua shalat ataukah sebagian shalat saja?. Sebagian ulama hanya membolehkan qunut di shalat jahriyah saja (ini pendapat ulama Hanafiyah, lihat Hasyiat Ibni Ábidin 2/11). Sebagian ulama membolehkan qunut nazilah kecuali shalat jumát karena dicukupkan doanya Khothib dalam khutbah (ini pendapat yang mu’tamad di madzhab hanbali, lihat Syarh Muntahal Irodaat 1/242). Dan sebagian ulama membolehkan qunut dilakukan di seluruh shalat wajib, baik shalat lima waktu maupun shalat jumát (ini adalah pendapat Syafiíyah, lihat Mughnil Muhtaaj 1/371, dan ini pendapat yang dipilih oleh Syaikh al-Útsaimin lihat asy-Syarh al-Mumti’ 4/47) .

Dengan demikian boleh qunut pada semua shalat wajib, dan tidak mengapa juga qunut pada sebagian shalat saja. Dan qunutnya dilakukan pada rakaát yang terakhir ketika i’tidal (setelah mengucapkan “Rabbanaa walakal hamdu”)

Jika qunut di shalat sirriyah (seperti dzuhur dan ashar) maka imam tetap menjaharkan doa qunutnya dan para makmum tetap mengaminkan.

Keempat : Hukum memakai hand sanitizer yang mengandung alcohol 70 persen, lantas tidak mencucinya kemudian shalat.

Hal ini diperbolehkan karena alkhohol bukan berarti pasti khomr. Memang khomer mengandung alcohol, akan tetapi tidak semua alcohol adalah khomr. Apalagi cairan yang mengandung alcohol 70 persen maka itu bukan khomr. Lagi pula pendapat yang benar bahwasanya khomr pun tidak najis sehingga yang dilarang adalah jika diminum karena bisa memabukkan. Apalagi alcohol bukan khomr. Jadi penggunaan hand sanitizer tidak membatalkan wudhu. (Jika seseorang yang menyentuh najis tidak batal wudhunya, tapi ia hanya tinggal membersihkan dirinya dari najis tersebut, apalagi menyentuh alcohol yang tidak najis).

Kelima : Bolehnya shalat dengan merenggangkan shaf (saling menjauh dalam shaf) agar tidak bersentuhan. Tentu diantara kesempurnaan shalat adalah dengan merapatkan shaff, akan tetapi jika kondisinya darurat maka tidak mengapa sebagian kewajiban ditinggalkan apalagi perkara yang sunnah untuk ditinggalkan.

Jika memang shalat berjamaah masih ditegakan di kota yang berwabah korona maka tidak mengapa bagi  jamaáh untuk saling menjauh ketika shalat dikarenakan kawatir terjadinya kontak fisik memudahkan penyebaran virus corona.

C. Terkait Kegiatan Harian

Pertama : Sebaiknya untuk tidak berjabat tangan ketika bertemu, dan hendaknya mencukupkan dengan salam dengan lisan saja. Karena yang paling utama dari salam adalah doa dengan ucapan lisan, adapun berjabat tangan maka ini dianjurkan, namun jika dikawatirkan bisa menjadi sarana penularan virus maka hendaknya ditinggalkan.

Kedua : Sebaiknya mengurangi kegiatan di luar rumah yang menimbulkan banyak interaksi dengan orang lain. Jika terpaksa harus keluar karena tuntutan pekerjaan dan yang lainnya, maka hendaknya tetap berikhtiar dengan banyak mencuci tangan dan lain lain seuai arahan para ahli kesehatan.

Catatan :

Diantara kasih sayang Allah adalah semua kebiasaan amal shalih yang biasa kita kerjakan, jika ada halangan syarí yang menjadikan kita tidak bisa melaksanakannya maka pahala tetap saja mengalir berdasarkan kebiasaan kita. Nabi shallallahu álaihi wasallam bersabda :

إِذَا مَرِضَ العَبْدُ، أَوْ سَافَرَ، كُتِبَ لَهُ مِثْلُ مَا كَانَ يَعْمَلُ مُقِيمًا صَحِيحًا
“Jika seorang hamba sakit atau bersafar maka tetap dicatat baginya seperti apa yang biasa ia kerjakan tatkala tidak bersafar dan tatkala sehat” (HR Al-Bukhari no 2996)

Maka jika kebiasaan kita adalah shalat berjamaah dan shalat jumát, maka meskipun sekarang kita tidak melakukannya, kita akan tetapi mendapatkan pahalanya, karena itu adalah kebiasaan kita.

Jika sekarang kita tidak bisa berjabat tangan dengan saudara-saudara kita (untuk mencegah penularan) maka tetap saja dosa-dosa kita berguguran jika bertemu dengan saudara kita meski tanpa berjabat tangan. Hal ini karena kebiasaan ketika kondisi normal adalah berjabatan tangan.

Penutup:

Hendaknya kita bekerja sama dengan baik kepada pemerintah dalam usaha menghadapi ujian virus covid 19 (corona). Jika kerja sama tidak dilakukan, dan sebagian orang tidak peduli dengan arahan tentu tujuan yang diharapkan lambat untuk tercapai. Bahkan bisa jadi tindakan yang salah dan ceroboh bisa menyebabkan tersebarnya virus semakin parah. 

Bapak Presiden dan Bapak Gubernur Jakarta (semoga Allah menjaga keduanya dalam kebaikan) telah memberi arahan untuk beribadah di rumah, maka hendaknya kita bisa menjalankannya karena tidak bertentangan dengan dalil-dalil, bahkan sesuai dengan syariát. Terlebih lagi MUI telah mengeluarkan fatwa tentang hal ini, terutama bagi penduduk kota yang telah tersebar wabah seperti Jakarta, maka hendaknya diperhatikan dan dijalankan, dan jangan dipertentangkan dengan fatwa-fatwa yang yang tidak jelas yang menjadikan orang-orang meremehkan atau bahkan tidak mengindahkan keputusan dan arahan pemerintah. 

Perkaranya bukan perkara sepele, kekawatirannya bukanlah pada hal yang diragukan. Bukankah sudah berapa negara yang banyak jatuh korban?, padahal mereka juga sudah berusaha keras menjalankan arahan-arahan pihak-pihak ahli kesehatan. Di Jakarta bahkan sudah mengenai sebagian pejabat. Dan hampir seluruh kecamatan sudah ada yang terjangkiti, maka hendaknya kita benar-benar bekerja sama karena Allah, agar semua bisa dilewati dengan baik. Jika tidak dikawatirkan maka dampaknya lebih parah. Mudah-mudahan dalam waktu dekat kita bisa melakukan kegiatan keagaaman dan keduniaan kita dengan normal kembali.

Hendaknya marilah kita semua (termasuk penulis) untuk bertakwa kepada Allah, dan untuk meningkatkan ketakwaan. Karena tidaklah musibah menimpa kecuali karena dosa yang kita lakukan, apakah musibah tersebut untuk menggugurkan dosa ataukah untuk mengangkat derajat, atau bahkan bisa menjadikan seseorang meraih pahala mati syahid. Maka perbanyak istighfar, perbanyak doa, dan jangan lupa sisihkan waktu untuk sholat malam dan bermunajat kepada Allah di sepertiga malam yang terkakhir. Apapun yang terjadi maka katakanlah sebagaimana firman Allah :

قُلْ لَنْ يُصِيبَنَا إِلَّا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَنَا هُوَ مَوْلَانَا وَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ

Katakanlah: “Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah untuk kami. Dialah Pelindung kami, dan hanya kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakal” (QS At-Taubah : 51)
(Jakarta, 16 Maret 2020)

Senin, 16 Maret 2020

Hukum Menghadiri Shalat Jum'ah dan Berjamaah di Tengah Wabah

Apa hukum dispensasi tidak menghadiri shalat jum’ah dan shalat jamaah dalam kondisi terjadinya wabah (penyakit) atau khawatir tersebarnya wabah?

Alhamdulillah otoritas perkumpulan para ulama besar pemerintahan Saudi Arabia telah mengeluarkan keputusan no (246) pada tanggal 16/7/1441H berikut ini teksnya:

Segala puji hanya milik Allah Tuhan seluruh alam, shalawat dan salam semoga terlimpahkan kepada nabi kita Muhammad, keluarga dan seluruh shahabatnya, amma ba’du:

Otoritas perkumpulan para ulamaa besar dalam pertemuan khusus ke-24 yang dilaksanakan di kota Riyad pada hari Rabu bertepatan pada tanggal 16/7/1441H telah melihat apa yang disodorkan terkait dispensasi tidak menghadiri shalat jum’ah dan jamaah dalam kondisi menyebarnya wabah atau takut tersebarnya wabah. Setelah mengadakan kajian mendalam dalam nash syariat Islam, tujuan dan kaidah-kaidahnya serta perkataan ahli ilmu dalam masalah ini, maka otoritas perkumpulan para ulama besar memberikan penjelasan berikut ini:

Pertama: Pasien yang terkena musibah ini diharamkan menghadiri shalat jum’ah dan jamaah berdasarkan sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam:
لا يُورِدَنَّ مُمْرِضٌ علَى مُصِحٍّ . متفق عليه
“Jangan dikumpulkan Orang yang sakit dengan orang sehat” [Muttafaq’alaihi]

Dan sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam:

إِذَا سَمِعْتُمْ بِالطَّاعُونِ بِأَرْضٍ فَلاَ تَدْخُلُوهَا، وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ وَأَنْتُمْ بِهَا فَلاَ تَخْرُجُوا مِنْهَا. متفق عليه

“Kalau kamu semua mendengar penyakit tho’un (wabah penyakit) suatu daerah, maka jangan masuk ke dalamnya. Dan ketika (wabah) telah memasuki suatu daerah sementara anda semua berada di dalamnya, maka jangan keluar darinya.” [Muttafaq’alaihi]

Kedua: Siapa yang diputuskan oleh instansi khusus untuk diasingkan, maka dia harus berkomitmen akan hal itu dan tidak menghadiri shalat jamaah dan jum’ah, dia menunaikan shalat-shalatnya di rumah atau di tempat pengasingannya. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Syuraid bin Suwaid At-Tsaqofi Radhiyallahu ahhu berkata,

كان في وَفْدِ ثَقِيفٍ رَجُلٌ مَجْذومٌ، فأَرْسَلَ إليه النبيُّ صلى الله عليه وسلم: إنّا قَدْ بايَعْناكَ فَارْجِعْ .أخرجه مسلم

“Dahulu ada utusan dari Tsaqif ada yang terkena kusta. Maka Nabi sallallahu alihi wa sallam mengirim pesan ‘Sungguh kami telah membait anda, maka pulanglah.” [HR. Muslim]

Ketiga: Siapa yang khawatir terkena celaka atau mencelakai orang lain, maka dia diberi keringanan tidak menghadiri jum’ah dan jamaah berdasarkan sabda Nabi sallallahu alaihi wa sallam:

لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ . رواه ابن ماجه

“Tidak boleh mencelakai diri dan mecelakai orang lain” [HR. Ibnu Majah]

Dari semua yang disebutkan, kalau dia tidak menghadiri jum’ah, maka dia shalat dhuhur 4 rakaat.

Dan otoritas perkumpulan ulama besar memberikan wasiat agar semua mengikuti taklimat, arahan dan aturan-aturan yang dikeluarkan oleh instansi khusus. sebagaimana memberikan wasiat agar semuanya bertakwa kepada Allah azza wa Jalla dan kembali kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan berdoa dan merendahkan diri dihadapan-Nya agar mengangkat cobaan ini. Allah Ta’ala berfirman:

وَإِنْ يَمْسَسْكَ اللَّهُ بِضُرٍّ فَلَا كَاشِفَ لَهُ إِلَّا هُوَ ۖ وَإِنْ يُرِدْكَ بِخَيْرٍ فَلَا رَادَّ لِفَضْلِهِ ۚ يُصِيبُ بِهِ مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ ۚ وَهُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ

“Jika Allah menimpakan sesuatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia. Dan jika Allah menghendaki kebaikan bagi kamu, maka tak ada yang dapat menolak kurniaNya. Dia memberikan kebaikan itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [Yunus/10:107]

Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ

“Dan Tuhanmu berfirman: “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu” [Al-Ghaafir/40:60]

Semoga shalawat dan salam terlimpahkan kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan semua shahabatnya.

(Dari link: https://www.spa.gov.sa/2047028
Read more https://almanhaj.or.id/14636-hukum-menghadiri-shalat-jumah-dan-jamaah-dalam-kondisi-tersebarnya-wabah-atau-takut-terjadi-penyebarannya.html)

Hukum Memakai Masker dalam Sholat

Shalat merupakan ibadah mahdhoh. Peniruan terhadap apa pun yang dilakukan oleh Rasulullah Saw. merupakan sesuatu yang mutlak. Tapi, di dalamnya memiliki permasalahan yang sangat kompleks; sejak wudhu (thoharoh) hingga salam.

Salah satu masalah yang belakangan ramai adalah memakai penutup wajah saat sholat. Dalam hal ini, penggunaan masker. Bagaimana hukumnya shalat memakai masker?

Secara umum, agama tidak melarang penggunaan berbagai atribut yang dikenakan ketika shalat, seperti sorban, selendang, peci, dan sajadah. Khusus tentang masker atau penutup wajah, ada beberapa hadis yang secara zhahir bernada “melarang”.
Sebagian menghukumi makruh untuk tindakan “menutup mulut dalam shalat”, baik laki-laki maupun wanita. Dalil hadisnya berasal dari Abu Hurairah ra. bahwa:

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُغَطِّيَ الرَّجُلُ فَاهُ فِي الصَّلَاةِ

Rasulullah Saw. melarang seseorang menutup mulutnya ketika shalat (HR Abu Daud 643, Ibnu Majah 966, Ibnu Hibban 2353, dan dihasankan Syuaib al-Arnauth).

Tindakan menutup mulut atau hidung disebut dengan istilah “talatsum”. Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dari Nafi, dari Ibnu Umar ra. bahwa “annahu karroha yatalatsum ar rojulu fî ash sholâti”. Beliau (Ibnu Umar ra) membenci seseorang melakukan talatsum ketika shalat. (al-Mushannaf, no. 7306).

Hadis lain dari Said bin Musayib dan Ikrimah bahwa “annahumâ karrohâ an yatalatsama ar rojul fî ash sholâti”. Keduanya membenci seseorang yang melakukan talatsum ketika shalat (al-Mushannaf, no. 7307). Imam Thawus juga membenci seseorang shalat dengan talatsum (al-Mushannaf, no. 7308). Bahkan, Imam Hasan al-Bashri pun “karroha li ar rojul an yusholliya mutsallatsaman”. Beliau membenci seseorang shalat dengan talatsum (al-Mushannaf, no. 7310).
Jadi, merujuk pada hadis di atas, dan beberapat pendapat ulama itu, orang sholat yang bermasker, hukumnya makruh, namun shalatnya tetap sah. Tidak perlu mengulangi. Tidak pula ada qodho shoalat.

Imam An-Nawawi berkata:

ويكره أن يصلي الرجل متلثما أي مغطيا فاه بيده أو غيرها… وهذه كراهة تنزيه لا تمنع صحة الصلاة

Makruh seseorang melakukan shalat dengan talatsum, artinya menutupi mulutnya dengan tangannya atau yang lainnya…. Makruh disini adalah makruh tanzih (tidak haram), tidak menghalangi keabsahan shalat. (al-Majmu’, 3/179).

Masalahnya, bagaimana di sebuah daerah mengalami kondisi “yang mengharuskan” untuk menggunakan masker, demi mencegah terjadinya hal-hal yang buruk (ayat yang dapat dijadikan dalil tentang larangan menganiaya diri adalah 2: 195). Dalam hal ini, kaidah ushul fiqh menyebutkan:

الكراهة تندفع مع وجود الحاجة

“Hukum makruh menjadi hilang, jika ada kebutuhan.”

Tentang keharusan membuka wajah saat shalat ada banyak ulama yang berkata, tentu dengan rujukan hadis. Ibnu Abdil Bar berkata:

أجمعوا على أن على المرأة أن تكشف وجهها في الصلاة والإحرام، ولأن ستر الوجه يخل بمباشرة المصلي بالجبهة والأنف ويغطي الفم، وقد نهى النبي صلى الله عليه وسلم الرجل عنه. فإن كان لحاجة كحضور أجانب فلا كراهة، وكذلك الرجل تزول الكراهة في حقه إذا احتاج إلى ذلك

Para ulama sepakat bahwa wanita harus membuka wajahnya ketika shalat dan ihram, karena menutup wajah akan menghalangi orang yang shalat untuk menempelkan dahi dan hidungnya, dan menutupi mulut. Padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang lelaki untuk melakukan hal ini. Namun jika ada kebutuhan, misalnya ada banyak lelaki non mahrom, maka hukumnya tidak makruh. Demikian pula lelaki, hukumnya menjadi tidak makruh jika dia butuh untuk menutupi mulutnya (al-Mughni, Ibnu Qudamah, 1/432).

Imam Nawawi Al-Bantani berkata:

ـ (و) الثاني (الطهارة عن النجاسة) أي التي لا يعفى عنها (في الثوب) أي الملبوس من كل محمول له وإن لم يتحرك بحركته وملاق لذلك

“Syarat yang kedua adalah suci dari najis yang tidak dimaafkan, di dalam pakaian, mencakup atribut yang dibawa, meski tidak ikut bergerak dengan bergeraknya orang yang shalat, dan disyaratkan pula suci dari najis, perkara yang bertemu dengan hal di atas,” (Syekh Nawawi Al-Bantani, Kasyifatus Saja, hlm. 102).

Syekh Ibnu Hajar Al-Haitami mengatakan

ـ (ويسن في السجود وضع ركبتيه) أولا للاتباع وخلافه منسوخ عل ما فيه (ثم يديه ثم جبهته وأنفه) معا ويسن كونه (مكشوفا) قياسا على كشف اليدين ويكره مخالفة الترتيب المذكور وعدم وضع الأنف

“Disunahkan di dalam sujud, meletakan kedua lutut untuk pertama kali, karena mengikuti Nabi Saw. Nash hadis yang berbeda dengan anjuran ini dinaskh (direvisi) menurut suatu keterangan. Lalu, meletakan kedua tangannya, lalu dahi dan hidungnya secara bersamaan. Dan, disunahkan hidung terbuka karena dianalogikan dengan membuka kedua tangan. Makruh menyalahi urutan yang telah disebutkan. Demikian pula makruh tidak meletakan hidung” (Syekh Ibnu Hajar Al-Haitami, Al-Minhajul Qawim Hamisy Hasyiyatut Tarmasi, juz III, halaman 36).

Kesimpulan:

Mengacu pada pertimbangan keutamaan, sebaiknya penggunaan masker dihindari saat shalat, bila (sekali lagi) bila penggunaan masker dapat menghalangi terbukanya hidung secara sempurna saat bersujud. Ulama fiqih menegaskan bahwa salah satu yang disunahkan ketika sujud adalah terbukanya bagian hidung secara sempurna.

Namun, mengacu pada kaidah “wujûd al hâjat” dari ushul fiqh di atas, jelaslah bahwa kaum Muslim yang sedang dilanda musibah debu atau wabah virus dihukumi “mubah” (boleh) untuk menggunakan masker. Dengan syarat, seluruh benda (termasuk masker) harus suci. Jika masker yang digunakan itu terkena najis, hukumnya haram dan shalatnya tidak sah. (Nu.or.id// Ust. Muh. Mubasysyarum)

Buanglah Sampah di Hatimu

Seorang laki-laki yang berbeda paham dengan seorang Guru Sufi mengeluarkan kecaman dan kata-kata kasar meluapkan kebenciannya kepada Sang Guru.

Sang Guru hanya diam, mendengarkannya dengan sabar, tenang dan tidak berkata apa pun.

Setelah lelaki tersebut pergi, si murid yg melihat peristiwa itu dengan penasaran bertanya : 

"Mengapa Tuan Guru diam saja tidak membalas makian lelaki tersebut."*

Beberapa saat kemudian, maka Sang Guru bertanya kepada si murid :

“Jika seseorang memberimu sesuatu, tapi kamu tidak mau menerimanya, lalu menjadi milik siapa kah pemberian itu ?”

"Tentu saja menjadi milik si pemberi," jawab si murid.

"Begitu pula dengan kata-kata kasar itu”*, tukas Sang Guru.

“Karena aku tidak mau menerima kata-kata itu, maka kata-kata tadi akan kembali menjadi miliknya, dia harus menyimpannya sendiri dan dia tidak menyadari, karena nanti dia harus menanggung akibatnya di dunia atau pun akhirat, karena energi negatif yg muncul dari pikiran, perasaan, perkataan, dan perbuatan hanya akan membuahkan penderitaan hidup”

Kemudian, lanjut Sang Guru :

”Sama seperti orang yg ingin mengotori langit dengan meludahinya. Ludah itu hanya akan jatuh mengotori wajahnya sendiri. Demikian halnya, jika di luar sana ada orang yg marah-marah kepadamu, biarkan saja, karena mereka sedang membuang SAMPAH HATI mereka"*

Jika engkau diam saja, maka sampah itu akan kembali kepada diri mereka sendiri, tetapi kalau engkau tanggapi, berarti engkau menerima sampah itu.”

“Hari ini begitu banyak orang di jalanan yg hidup dengan membawa sampah di hatinya (sampah kekesalan, sampah amarah, sampah kebencian, dan lainnya), maka jadilah kita orang yg BIJAK.”

Sang Guru melanjutkan nasehatnya :

“Jika engkau tak mungkin memberi, janganlah mengambil”
“Jika engkau terlalu sulit untuk mengasihi, janganlah membenci”*
"Jika engkau tak dapat menghibur orang lain, janganlah membuatnya sedih”*
“Jika engkau tak bisa memuji, janganlah menghujat”*
“Jika engkau tak dapat menghargai, janganlah menghina”*
“Jika engkau tak suka bersahabat, janganlah bermusuhan”*

۞اَللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِه و صحبه اجمعين.
Semoga kita menjadi lebih baik dan lebih bermanfaat.

Minggu, 15 Maret 2020

Mundur ke Belakang? Maksudnya?

Suatu ketika, sesorang bertanya kepada Dr. Muhammad Imarah dengan pertanyaan yang sedikit mengejek dan mengolok: " Saya dengar, anda ingin sekali syariah Islam ini diterapkan. Apakah anda ingin membawa kami mundur ke belakang, pak?"

Mendapatkan pertanyaan bernada merendahkan itu, beliau pun menjawab dengan balik bertanya:

Ke belakang yang mana maksud anda?
Apakah belakang yang anda maksud adalah 100 tahun yang lalu, saat Islam menguasai separuh dunia selama 500 tahun?

Atau maksud anda lebih jauh lagi ke belakang saat dimana Dinasti Mamalik (mamluk) menyelamatkan dunia dari ganasnya serbuan Mongol dan Tatar?

Atau lebih jauh lagi ke belakang saat Dinasti Abbasiyyah menguasai separuh dunia?

Atau ke belakang sebelumnya, di masa Dinasti Umayyah, atau sebelumnya lagi saat Umar bin Khatab menguasai banyak kawasan di dunia ini?

Atau di masa Khalifah Harun Ar-Rasyid, saat beliau mengirim surat ke penguasa Imperium Romawi kala itu, Naqfur, beliau menulis:

"Dari Harun Ar-Rasyid Amirul mukminin, kepada Naqfur "guguk" Romawi (كلب الروم)"

Atau ke belakang saat Abdurrahman ad-Dakhil bersama pasukannya berhasil menaklukkan Italia dan Prancis? Itu jika dalam bidang politik.

Atau maksudmu ke belakang adalah dalam bidang keilmuan, ketika ulama Arab seperti Ibnu Sina, Al-Farabi, Alkhawarizmi, Ibnu Jabir, Ibnu Rusyd, Ibnu Khaldun dll, mengajarkan dunia Arab dan dunia barat tentang ilmu kedokteran, farmasi, arsitektur, falak dan sastra?

Atau ke belakang maksudmu dalam hal kehormatan? Ketika seorang Yahudi kafir mengerjai seorang muslimah hingga terlepas baju abayanya sampai ia berteriak histeris, maka Khalifah Almu'tashim mengirim pasukan untuk membalas apa yang dia lakukan dan mengusir orang Yahudi dari negaranya. Sementara hari ini, para muslimah diperkosa sedangkan pemimpin negeri muslim hanya diam tak bisa berbuat apa-apa?

Atau ke belakang maksudmu saat kaum muslimin membangun universitas pertama di Spanyol yang menggemparkan Eropa kala itu?

Sehingga sejak itu, pakaian jubah longgar besar dari Arab itu menjadi pakaian wisuda hampir semua universitas dunia? Dan dibagian atasnya ada topi yg datar dimana dahulu dijadikan tempat meletakkan Alquran saat acara wisuda?

Atau maksudmu ke belakang, saat Kairo menjadi kota paling indah di dunia?

Atau ketika 1 Dinar Iraq setara dengan 483 dolar?

Atau maksudmu ke belakang, saat orang-orang melarikan diri dari Eropa yang dilanda kemiskinan dan pergi menyelamatkan diri menuju Aleksandria (di Mesir), atau ketika Amerika meminta bantuan Mesir untuk menyelamatkan Eropa dari kelaparan?

Tolong beritahukan padaku, mundur ke belakang mana yang kamu maksudkan?

Dan si penanya hanya bisa diam. Tak tau lagi  apa yang mau diucapkan...
(WA/Ahmad Budiman)

Senin, 02 Maret 2020

Wabah Penyakit Menular dalam Pandangan Islam

السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُه

Wabah Penyakit pernah terjadi  dalam Sejarah Islam. Lalu bagaimana cara menyikapi dan solusinya?

Saat  ini umat manusia dihadapkan pada masalah serius di  muka bumi ini. Biangnya, karena aksi suatu binatang ciptaan atau makhluk Allah yg tak tampak dilihat mata. Itu dia  si Virus Corona yang kini menggegerkan dunia.

Karuan saja membuat seisi bumi begitu cemas dan miris, kalau tak mau dibilang begitu mengerikan dan bikin bergidik...

Syahdan,  membuat seluruh kekuatan, baik berupa senjata, serdadu, hingga keangkuhaan manusia bertekuk lutut, lumpuh, dihadapan kekuasaan Allah Ta'ala..

Tampaknya begitulah sejatinya garis sunatullah yang tengah diciptakan sang Ilahi...
Allah Ta'ala tampaknya tengah menghancurkan tingginya kesombongan manusia, hanya dengan mengerahkan salah satu tentarnya, melalui suatu makhluk cipptanNya  yang sangat kecil.

Tentu saja, agar warga manusia kembali pada pujian atas kebesaranNya. Agar mereka yang sombong runtuh dengan sehina-hinanya, seperti Raja Namrud yg mati hina karena seekor lalat yang merangsek  dalam lubang telingnya.

Bagaimana Islam bersikap..?

Indahnya agama Islam ini, karena semua masalah di dunia sesungguhnya sudah ada dan tersedia solusinya..

Apalagi jika mencontoh cara Rasulullah Shallallahu 'alaihi wassalam dan para sahabatnya dalam mengatasi berbagai persoalan dunia, termasuk cara penanganan  wabah penyakit. Beliau, Rasulullah SAW dan para Sahabatnya adalah orang-orang paling berjasa dalam membimbing kehidupan kita

Berikut kisahnya yang dikupas  secara detail  dalam buku tentang khalifah Umar bin Khattab Radhiyallahu 'anhu karya Syaikh Ali Ash Shalabi..

Pada Tahun 18 Hijriah

Hari itu Khalifah Umar bin Khaththab Radhiyallahu 'anhu bersama para sahabatnya berjalan dari Madinah menuju negeri Syam.

Mereka berhenti didaerah perbatasan sebelum memasuki Syam karena mendengar ada wabah Tha'un Amwas yang melanda negeri tersebut.

Sebuah penyakit menular, seperti munculnya benjolan di seluruh tubuh yang kemudian  pecah hingga mengakibatkan pendarahan.

Abu Ubaidah bin Al Jarrah, seorang yang dikagumi Umar Radhiyallahu 'anhu, sang Gubernur Syam ketika itu datang ke perbatasan untuk menemui rombongan.

Dialog yang hangat antar para sahabat, apakah mereka masuk atau pulang ke Madinah..

Umar yang cerdas meminta saran kaum muhajirin, anshar, dan orang2 yg ikut Fathu Makkah. Mereka semua berbeda pendapat..

Bahkan Abu Ubaidah Radhiyallahu 'anhu menginginkan mereka masuk, dan berkata mengapa engkau lari dari takdir Allah Ta'ala ?

Lalu Umar Radhiyallahu 'anhu menyanggahnya dan bertanya. Jika kamu punya kambing dan ada dua  lahan yg subur dan yg kering, kemana akan engkau arahkan kambingmu? Jika ke  lahan kering itu adalah takdir Allah, dan jika ke lahan subur itu juga takdir Allah.

Sesungguhnya dengan kami pulang, kita hanya berpindah dari takdir satu ke takdir yg lain.

Akhirnya perbedaan itu berakhir ketika Abdurrahman bin Auf Radhiyallahu 'anhu mengucapkan hadist Rasulullah Shallallahu 'alaihi wassalam .

*Jika kalian mendengar wabah melanda suatu negeri. Maka, jangan kalian memasukinya. Dan jika kalian berada didaerah itu janganlah kalian keluar untuk lari darinya (HR. Bukhari & Muslim)

Akhirnya mereka pun pulang ke Madinah.. Umar Radhiyallahu 'anhu merasa tidak kuasa meninggalkan sahabat yang dikaguminya, Abu Ubaidah Radhiyallahu 'anhu .. Beliau pun menulis surat untuk mengajaknya ke Madinah.

Namun beliau adalah Abu Ubaidah Radhiyallahu 'anhu, yang hidup bersama rakyatnya dan mati bersama rakyatnya..

Umar Radhiyallahu 'anhu pun menangis membaca surat balasan itu..

Dan bertambah tangisnya ketika mendengar Abu Ubaidah, Muadz bin Jabal, Suhail bin Amr, dan sahabat2 mulia lainnya radiyallahuanhum wafat karena wabah Tha'un dinegeri Syam.

Total sekitar 20 ribu orang wafat, hampir separuh penduduk Syam ketika itu..

Pada akhirnya, wabah tersebut berhenti ketika sahabat Amr bin Ash Radhiyallahu 'anhu memimpin Syam

Kecerdasan beliau lah yang menyelamatkan Syam

Hasil tadabbur beliau dan kedekatan dengan alam ini..
Amr bin Ash Radhiyallahu 'anhu berkata:

"Wahai sekalian manusia, penyakit ini menyebar layaknya kobaran api. Jauhilah dan berpencarlah dengan menempati  gunung-gunung.."

Mereka pun berpencar dan menempati gunung-gunung.

Wabah pun berhenti layaknya api yang padam karena tidak bisa lagi menemukan bahan yang bisa dibakar..

Lalu, belajar dari bagaimana orang-orang terbaik itu bersikap..

Maka inilah panduan dan kabar gembira ditengah kesedihan ini untuk kita semua

▪Pertama:

Karantina
Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam diatas,
Maka itulah konsep karantina yang hari ini kita kenal.
Mengisolasi daerah yang terkena wabah..
Seluruh negara menjalaninya..

Namun, anehnya ada negara yang entah darimana mengambil petunjuknya,
Negara tsb malah menyuruh orang2 masuk karena dalih mengamankan ekonomi dan pariwisata.
Semoga Allah Ta'ala melindungi semua penduduk negara tersebut

Kedua: "Bersabar"

Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam bersabda:
"Tha'un merupakan azab yang ditimpakan kepada siapa saja yang Dia kehendaki. Kemudian Dia jadikan rahmat kepada kaum mukminin"
Maka, tidaklah seorang hamba yang dilanda wabah lalu ia menetap dikampungnya dengan penuh kesabaran dan mengetahui bahwa tidak akan menimpanya kecuali apa yang Allah Ta'ala tetapkan, baginya pahala orang yang mati syahid (HR. Bukhari dan Ahmad)

Masya Allah.. ternyata mati syahid lah balasan itu.. sesuatu yang didambakan kaum muslimin.
Maka, sabar dan tanamkanlah keyakinan itu. Jika takdir Allah menyapa kita, berharaplah syahid..

Ketiga, "Berbaik sangka dan berikhtiarlah"

Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam bersabda:
"Tidaklah Allah Ta'ala menurunkan suatu penyakit kecuali Dia juga yang menurunkan penawarnya (HR. Bukhari)

Umar bin Khattab Radhiyallahu 'anhu berikhtiar menghindarinya serta Amr bin Ash berikhtiar menghapusnya.

Keempat: "Banyak berdoalah"

Dan doa-dia keselamatan itu sudah kita lafadzkan di setiap pagi dan sore.

Bismillahilladzi laa yadhurru maasmihi, say'un fil ardhi walafissamaai wahuwa samiul'alim

(Dengan nama Allah yang apabila disebut, segala sesuatu dibumi dan langit tidak berbahaya. Dialah maha mendengar dan maha mengetahui)

Barang siapa yang membaca dzikir tsb 3x dipagi dan petang. Maka tidak akan ada bahaya yg memudharatkannya*
(HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)

Yang terakhir, Kelima, sebagaimana solusi dari Amr bin Ash untuk berpencar..

Menjaga jarak dr keramaian dan menahan diri untuk dirumah
Cara inilah yang banyak ditiru dunia luar, mereka menyebutnya social distancing..

Sesungguhnya semua solusi permasalahan dunia itu sudah ada contoh dan petunjuknya dalam Islam.  Termasuk ikhtiar dengan karantina atau menjaga diri dari keramaian (social distancing) yang justru saat ini dilakukan oleh orang-orang kafir. Walaupun mereka tidak mempunyai solusi Langit, layaknya melalui akktifitas ibadah dan panjatan doa.

Bersabar, berkeyakinan dan berbaik sangka atas ketetapan Allah, serta berdoa, dan bahkan imbalan mati Syahid tentu saja merupakan cara kita paling bijak untuk menyikapinya..

Mari kita sikapi datangnya Pandemi Convid-19 ini secara rasional, bijak dan terukur. Mengambil solusi  seperti yang telah dicontohkan oleh Rasulullah saw dan para sahabatnya. Dan tentu saja kita tidak patut bersikap terlalu abai, apalagi bertindak lebay. Ah, ente ini...!!!
(editing/nas)

Ust. Roni: "Ada Apa Negeri Berkekayaan Alam Melimpah Ruah, tapi Kesulitan Ekonomi Kian Menggurita."

Ketua DKM Al-Muhajirin yang baru: Ir. A. Hasan Munawar Catatan Redaksi: Pelaksanaan Shalat Idul Fitri 1445 H di Masjid Al-Muhajirin RW-10 An...