Sabtu, 27 Januari 2018

Air ini hanya untuk Insinyur

Kisah Nyata Presiden Direktur Aramco Arabian American Oil Company
Copas dari status Dyno Muhammad

Bismillahir-Rahmaanir-Rahim... 
Di sebuah perusahaan pertambangan minyak di Arab Saudi, di akhir tahun 40-an. Seorang pegawai rendahan, remaja lokal asli Saudi kehausan dan bergegas mencari air untuk menyiram tenggorokannya yang kering. Ia begitu gembira ketika melihat air dingin yang tampak didepannya dan bersegera mengisi air dingin ke dalam gelas.

Belum sempat ia minum, tangannya terhenti oleh sebuah hardikan: “Hei, kamu tidak boleh minum air ini. Kamu cuma pekerja rendahan. Air ini hanya khusus untuk insinyur.” Suara itu berasal dari mulut seorang insinyur Amerika yang bekerja di perusahaan tersebut.

Remaja itu akhirnya hanya terdiam menahan haus. Ia tahu ia hanya anak miskin lulusan sekolah dasar. Kalaupun ada pendidikan yang dibanggakan, ia lulusan lembaga Tahfidz Quran, tapi keahlian itu tidak ada harganya di perusahaan minyak yang saat itu masih dikendalikan oleh manajeman Amerika.

Hardikan itu selalu terngiang di kepalanya. Ia lalu bertanya-tanya: Kenapa ini terjadi padaku? Kenapa segelas air saja dilarang untuk ku? Apakah karena aku pekerja rendahan,sedangkan mereka insinyur ? Apakah kalau aku jadi insinyur aku bisa minum? Apakah aku bisa jadi insinyur seperti mereka?

Pertanyaan ini selalu tengiang-ngiang dalam dirinya. Kejadian ini akhirnya menjadi momentum baginya untuk membangkitkan “SIKAP POSITIF” . Muncul komitmen dalam dirinya. Remaja miskin itu lalu bekerja keras siang hari dan melanjutkan sekolah malam hari. Hampir setiap hari ia kurang tidur untuk mengejar ketertinggalannya.

Tidak jarang olok-olok dari teman pun diterimanya. Buah kerja kerasnya menggapai hasil. Ia akhirnya bisa lulus SMA. Kerja kerasnya membuat perusahaan memberi kesempatan padanya untuk mendalami ilmu. Ia dikirim ke Amerika mengambil kuliah S1 bidang teknik dan master bidang geologi. Pemuda ini lulus dengan hasil memuaskan. Selanjutnya ia pulang kenegerinya dan bekerja sebagai insinyur.

Kini ia sudah menaklukkan ”rasa sakit”nya, kembali sebagai insinyur dan bisa minum air yang dulu dilarang baginya. Apakah sampai di situ saja. Tidak, karirnya melesat terus. Ia sudah terlatih bekerja keras dan mengejar ketinggalan, dalam pekerjaan pun karirnya menyusul yang lain.

Karirnya melonjak dari kepala bagian, kepala cabang, manajer umum sampai akhirnya ia menjabat sebagai wakil direktur, sebuah jabatan tertinggi yang bisa dicapai oleh orang lokal saat itu.

Ada kejadian menarik ketika ia menjabat wakil direktur. Insinyur Amerika yang dulu pernah mengusirnya, kini justru jadi bawahannya.

Suatu hari insinyur tersebut datang menghadap karena ingin minta izin libur dan berkata; “Aku ingin mengajukan izin liburan. Aku berharap Anda tidak mengaitkan kejadian air di masa lalu dengan pekerjaan resmi ini. Aku berharap Anda tidak membalas dendam, atas kekasaran dan keburukan perilakuku di masa lalu”.

Apa jawab sang wakil direktur mantan pekerja rendahan ini: “Aku ingin berterimakasih padamu dari lubuk hatiku paling dalam karena kau melarang aku minum saat itu. Ya dulu aku benci padamu. Tapi, setelah izin Allah, kamu lah sebab kesuksesanku hingga aku meraih sukses ini.

Kini sikap positfnya sudah membuahkan hasil, lalu apakah ceritanya sampaidi sini?

Tidak. Akhirnya mantan pegawai rendahan ini menempati jabatan tertinggi di perusahaan tersebut. Ia menjadi Presiden Direktur pertama yang berasal dari bangsa Arab.

Tahukan Anda apa perusahaan yang dipimpinnya? Perusahaan itu adalah Aramco (Arabian American Oil Company) perusahaan minyak terbesar di dunia.

Ditangannya perusahaan ini semakin membesar dan kepemilikan Arab Saudi semakin dominan. Kini perusahaaan ini menghasilakn 3.4 juta barrels (540,000,000 m3) dan mengendalikan lebih dari 100 ladang migas di Saudi Arabia dengan total cadangan 264 miliar barrels (4.20×1010 m3) minyak dan 253 triliun cadangan gas.

Atas prestasinya Ia ditunjuk Raja Arab Saudi untuk menjabat sebagai Menteri Perminyakan dan Mineral yang mempunyai pengaruh sangat besar terhadap dunia.

Ini adalah kisah Ali bin Ibrahim Al-Naimi yang sejak tahun 1995 sampai saat ini menjabat Menteri Perminyakan dan Mineral Arab Saudi.

Terbayangkah, hanya dengan mengembangkan hinaan menjadi hal yang positif, isu air segelas di masa lalu membentuknya menjadi salah seorang penguasa minyak yang paling berpengaruh di seluruh dunia.

Itulah kekuatan”SIKAP POSITIF”

Kita tidak bisa mengatur bagaimana orang lain berperilaku terhadap kita …

Kita tidak pernah tahu bagaimana keadaan akan menimpa kita ….

Tapi kita sepenuhnya punya kendali bagaimana menyikapinya … Apakah ingin hancur karenanya? Atau bangkit dengan semangat “Bersikap Positif” dan menjadi bagian dari solusi.

Wallahu a'lam bish-shawab ..
Semoga bermanfaat dan Dapat Diambil Hikmah-Nya ...

Sabtu, 20 Januari 2018

Santun dan Sabar ala Rasulullah

Dalam diri Nabi Muhammad SAW selalu ada nilai keteladanan (QS al-Ahzab [33]: 21). Salah satunya teladan dalam kesabaran. Ketika Nabi disakiti, beliau tidak pernah membalasnya. Nabi menghadapinya dengan kesabaran.

Dikisahkan, setiap kali Nabi SAW melintas di depan rumah seorang wanita tua, Nabi selalu diludahi oleh wanita tua itu. Suatu hari, saat Nabi SAW melewati rumah wanita tua itu, beliau tidak bertemu dengannya. 

Karena penasaran, beliau pun bertanya kepada seseorang tentang wanita tua itu. Justru orang yang ditanya itu merasa heran, mengapa ia menanyakan kabar tentang wanita tua yang telah berlaku buruk kepadanya.

Setelah itu Nabi SAW mendapatkan jawaban bahwa wanita tua yang biasa meludahinya itu ternyata sedang jatuh sakit. Bukannya bergembira, justru beliau memutuskan untuk menjenguknya. Wanita tua itu tidak menyangka jika Nabi mau menjenguknya.

Ketika wanita tua itu sadar bahwa manusia yang menjenguknya adalah orang yang selalu diludahinya setiap kali melewati depan rumahnya, ia pun menangis di dalam hatinya, "Duhai betapa luhur budi manusia ini. Kendati tiap hari aku ludahi, justru dialah orang pertama yang menjengukku."

Dengan menitikkan air mata haru dan bahagia, wanita tua itu lantas bertanya, "Wahai Muhammad, mengapa engkau menjengukku, padahal tiap hari aku meludahimu?" Nabi SAW menjawab, "Aku yakin engkau meludahiku karena engkau belum tahu tentang kebenaranku. Jika engkau telah mengetahuinya, aku yakin engkau tidak akan melakukannya."

Mendengar jawaban bijak dari Nabi, wanita tua itu pun menangis dalam hati. Dadanya sesak, tenggorokannya terasa tersekat. Lalu, dengan penuh kesadaran, ia berkata, "Wahai Muhammad, mulai saat ini aku bersaksi untuk mengikuti agamamu." Lantas wanita tua itu mengikrarkan dua kalimat syahadat, "Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah."

Demikianlah salah satu kisah teladan kesabaran Nabi Muhammad SAW yang sungguh menakjubkan dan sarat akan nilai keteladanan. Nabi SAW tidak pernah membalas keburukan orang yang menyakitinya dengan keburukan lagi, tetapi Nabi justru memaafkannya.

Dalam syair dikatakan, sabar memang pahit seperti namanya, tetapi akibatnya lebih manis dari madu. Masih banyak kisah tentang kesabaran Nabi lainnya yang hendaknya terus digali, lalu disosialisasikan, dan berikutnya diteladani.

Dengan demikian, jika nilai-nilai kesabaran ini dijadikan sebagai landasan dalam membangun bangsa dan negara, tidak menutup kemungkinan harmonisasi antarmasyarakat, masyarakat dengan pemimpin, dan antarpemimpin akan dapat terwujud. Wallahu a'lam.

Untuk para pecinta Rasulullah SAW, cinta berarti akan meniru semua akhlaq Beliau SAW. Mari kita amalkan...

Hanya memberi tak harap kembali bukan hanya syair lagu, namun tuntunan bagi kita yang beriman untuk menjemput ridha Allah SWT.

Barakallah fikkum...

Sabtu, 06 Januari 2018

Menyempurnakan Niat

INGAT nggak, ketika kita kecil, mungkin di suasana perayaan tujuh belasan di kampung? Di sebuah lintasan rumput atau tanah, ada beberapa lintasan yang dibatasi tali rafia. Kita, yang masih kanak-kanak, ada di salah satu lintasan tersebut. Di depan wajah kita, ada sebuah sendok yang kita gigit pangkalnya. Di cekungan sendok itu ada kelereng. Kita jaga mati-matian supaya kelereng itu tidak jatuh dari sendok, selama kita berjalan secepat mungkin menuju garis finish di depan sana.

Ketika itu, jantung kita berpacu kencang, kencang banget. Dag-dug-dag-dug… . Nafas kita memburu, saling menyusul dengan detak jantung. Di punggung, kedua tangan kita saling menggenggam. Kaki-kaki kita mencoba melangkah secepat mungkin, tapi kita atur kecepatannya sampai pada titik yang 'pas' : tidak terlalu lambat sehingga bisa mendahului peserta lain, tapi tidak terlalu cepat sehingga kita kehilangan keseimbangan dari semua faktor pendukung, yang pasti akan menyebabkan 'out of control': kelereng kita jatuh dari sendoknya. Ada satu titik yang paling pas, somewhere in between, dan kita akan menemukan 'titik keseimbangan semuanya' itu dalam di proses melakukannya. Titik itu akan kita temukan sendiri setelah berangkat dari garis start.

Kita bahkan tidak menyadari teriakan-teriakan penonton yang begitu riuh. Ekspresi orang tua kita yang begitu senang menyaksikan kita 'bertarung di arena' sambil bertepuk tangan memberi semangat, tidak lagi kita perhatikan. Kita pun tidak memperhatikan kalau anak cewek yang kita taksir sedang meneriakkan nama kita di pinggir sana, memberi semangat. Dan kita juga, dengan sendirinya, tidak (merasa perlu) membayangkan gimana manisnya nanti ekspresi senyum malu-malu si anak itu, ketika hadiah kemenangan lomba ini kita kasihkan ke dia. Itu, pretty much, 'kagak usah dibayang-bayangin sekarang'. Pokoknya manis.

Pada saat itu, kita adalah 'gladiator' di arena rumput dan bentangan tali rafia. Kita tidak memikirkan untuk menikmati kemenangan: saat itu kita simply menghirup pertarungannya. Pada saat itu, apapun selain garis finish dan sendok dengan kelereng di mulut sedang tidak relevan di kehidupan kita.

Sebelum berangkat, memang kita menyadari ada penonton, ada arena. Ada orang tua, ada teman-teman, ada ibu-ibu tetangga. Ada ibu tua yang berjualan minuman di pinggir lapangan, ada juga satu-dua balon yang lepas tertiup angin. Anak cewek yang manis itu juga ada di pinggir lapangan, siap memberi semangat. Tapi saat-saat menjelang wasit meneriakkan satu kata yang membuat semua peserta berpacu meninggalkan garis start, semua itu menjadi samar.

Menjelang wasit meneriakkan satu kata itu, alam semesta pelan-pelan menghilang. Dan kita tahu, nanti setelah berangkat, dengan sendirinya detak jantung, kecepatan kaki, sudut kemiringan kepala, tekanan gigi pada sendok, dan akselerasi kelajuan dan meknisme pengurangan kecepatan gerak kaki kita bertemu pada satu titik keseimbangan sempurna. A perfect equilibrium. Pada saat itu, semua hilang. Lenyap. Dan kemudian, di alam semesta ini ada dua hal saja: sendok dengan kelereng di mulut kita, dan garis finish.

Itulah niat

Dan setelahnya, semua di alam semesta yang terhubung dengan niat kita, akan bersatu. Bahu membahu, saling menyesuaikan diri mereka masing-masing demi niat kita itu. Dan itu terjadi dengan sendirinya!

Ketika lomba balap kelereng tadi, kita tidak mengatur seberapa harusnya tekanan gigi kita pada sendok. Berapa kecepatan langkah kaki kita. Berapa sudut kemiringan kepala kita. Berapa akselerasi kita, dan pada titik mana kita harus menambah atau mengurangi kecepatan. Mereka yang akan menyesuaikan dirinya masing-masing kepada niat kita.

Niat untuk membawa kelereng di atas sendok sampai garis finish. Apapun selain itu, tidak relevan. Itulah niat. Niat bertaubat, niat kembali dan pulang kepada Allah, adalah seperti itu. Niat shalat, ya kurang lebih begitu. Niat bangun malam, ya begitu juga. Niat puasa, niat studi, ya sama saja kurang lebih. You got the picture.

Niat bukanlah ucapan atau kata-kata. Niat adalah sebuah 'penghubungan diri' kepada Allah, sebuah tekad yang mendasari sebuah harapan kepada Allah ta'ala, yang (membuat Dia berkenan) menundukkan hal-hal tertentu di alam semesta demi harapan kita itu.

Kenapa para sahabat Rasulullah bisa tidak menyadari apapun ketika shalat? Ya intensitas niat shalat mereka tentu luar biasa dahsyatnya. Ketika shalat, alam semesta melenyapkan diri dari mereka, bahkan diri mereka sendiri pun lenyap dalam shalatnya. Yang ada hanya Allah ta'ala, dan diri-diri mereka pun hilang, perlahan-lahan berubah menjadi ucapan-ucapan shalat yang beterbangan satu demi satu ke arah Tuhan mereka.

Dengan niat yang seperti itu, mengucapkan niat secara verbal atau tidak, bukan masalah. Kita tidak harus melafalkan sebelum perlombaan, “Saya niat balap kelereng, menggigit sendok dan menjadi peserta paling depan, dua kali bolak-balik, lillahi ta'ala.” Jika tidak tercipta sebuah 'keterhubungan' tadi, walaupun dengan niat yang dilafalkan, pengucapan itu bahkan tidak ada gunanya.

Pelafalan niat hanya sebuah cara, metode pengkondisian diri. Niat yang dilafalkan barulah niat secara jasad. Sedangkan niat yang secara batin, adalah niat yang seperti di atas. Idealnya, jika kita berniat, seharusnya merupakan 'rembesan' dari sebuah niat batin yang naik ke jasad sehingga terlafalkan. Bukan sebaliknya.

“Manusia hanya mendapatkan sebagaimana yang diniatkannya,” sabda Rasulullah ketika hijrah.

Senada nasihat Salim bin Abdullah kepada Umar bin Abdul 'Aziz: “Ketahuilah wahai Umar, bahwasannya bantuan Allah kepada seorang hamba berdasar atas niatnya. Maka barangsiapa telah menyempurnakan niatnya, niscaya akan disempurnakan pula bantuan Allah kepadanya.”

Sempurnakanlah niat. Sempurnakan sehingga kelak hasilnya layak kita persembahkan pada Allah ta'ala. Hadiah lomba balap kelereng? Kita berikan sajalah pada gadis kecil manis yang kita taksir itu. Bayangkan betapa manis senyumnya nanti. (Herry Mardian)

Ust. Roni: "Ada Apa Negeri Berkekayaan Alam Melimpah Ruah, tapi Kesulitan Ekonomi Kian Menggurita."

Ketua DKM Al-Muhajirin yang baru: Ir. A. Hasan Munawar Catatan Redaksi: Pelaksanaan Shalat Idul Fitri 1445 H di Masjid Al-Muhajirin RW-10 An...