Senin, 22 Juni 2020

DKM Al-Muhajirin Selenggarakan Shalat Idul Adha 1441-H dan Penitipan Hewan Qurban


Assalamu'alaikum warahmatullahi wa barakatuh,
Jamaah Al Muhajirin dan Warga RW10 Antapani Kidul dan sekitarnya.

Masjid Al Muhajirin RW10, seperti tahun-tahun sebelumnya akan melaksanakan Shalat Idul Adha. 


Menurut Ketua Panitia Idul Adha 1441-H DKM Al-Muhajirin, Hasan Munawar, Pelaksanaan Shalat Idul Adha 1441-H tahun ini pada 10 dzulhijjah atau bertepatan pada hari Jum'at, Tgl 31 Juli 2020 (Kepastian waktu menyesuaikan dengan Keputusan Kemenag RI). Adapun waktunya, menurut Hasan, akan dilaksanakan pada pukul: 06.30 Wib s.d. Selesai, bertempat di Masjid Almuhajirin Jl. Jayapura No.2, RW-10 Antapani Bandung.
Sedangkan waktu pemotongan hewan qurban akan dilaksanakan pada Sabtu, 1 Agustus 2020, mulai pukul 06.00 s.d. Selesai.

Adapun yang akan bertindak sebagai Imam dan Khotib shalat Idul Adha dari Pengurus dan jamaah Al-Muhajirin sendiri, yakni:  Ustadz Heykal Sya'ban, Lc.

Titipan hewan qurban

DKM Almuhajirin juga masih menerima penitipan hewan Qurban Sapi.

Menurut Ketua DKM Al-Muhajirin, Sigit Tjiptono, besarnya biaya untuk qurban sapi (7 orang) untuk tahun 1441-H saat ini sebesar  Rp 3,2 juta/mudlohi. Nominal ini sudah termasuk biaya pengurusan.

Insya Allah, lanjut Sigit,  kami akan memenuhi beberapa saran dari jamaah agar besar sapinya minimal sama dengan sapi-sapi 3 tahun terakhir yang disembelih di tempat kita.

"Kami juga telah mengevaluasi biaya-biaya yang sedapat mungkin  bisa dihilangkan/ditekan, agar penentuan biaya per mudlohi sapi bisa lebih murah," jelas Sigit.

Adapun pendaftaran dan pembayaran dapat dilakukan:


a. Secara tunai dapat diserahkan langsung di Jl. Manokwari I/12 Antapani Kidul atau melalui Telpon/WA/SMS ke :

1. Bapak Saepudin no. WA 0821-2929-5926
2. Ibu Iis Hanifah no. WA 0813-2108-0793.

Ibu dan bapak tidak perlu repot-repot datang, tapi cukup WA/SMS/Telpon ke kami dengan menyebutkan nama mudlohinya dan cara pembayarannya. Nanti tim kami dari paniitia yang akan menjemput ke rumah ibu/bapak. Praktis khan? Apalagi di masa PSBB Pandemi Covid-19 sekarang ini, kita diminta untuk tidak keluar rumah jika tidak sangat perting sekali.

b. Sedangkan untuk pembayaran via transfer dapat dikirim ke rekening Bank Syariah Mandiri no. 7112631431 a.n Aris Darmawati. Jika sudah transfer, mohon dikirim bukti transfernya ke panitia pendaftaran.

Adapun penitipan qurban berupa kambing baru kami terima pada H-1 yaitu hari Kamis tgl 30 Juli 2020. 


Pemenang tender

Menurut Ketua DKM, Alhamdulillah, satu tahap proses pengadaan sapi selesai.
Dari 6 lokasi yang disurvey dan  diadakan dua sampai tiga kali negosiasi untuk berat sapi antara 320-350 kg, diperoleh pemenang pertama Saudara Choirudin (Coy) dari Cijapati dengan nilai 20 juta/ekor. Sedangkan  pemenang kedua/Cadangan adalah Saudara Ujang dari Cibodas Lembang dengan nilai 21 juta/ekor.

Harga tersebut sudah franco gudang Al Muhajirin pada hari H-1 pagi. Seluruh hewan qurban akan dilengkapi sertifikat kesehatan hewan dari dinas peternakan dan pakan sapi untuk 24 jam.

Bagi yang membeli/membawa sapi sendiri ditetapkan biaya pengurusannya Rp. 200 rb/mudlohi atau Rp.1,4 juta/sapi. 

Sedangkan biaya pengurusan kambing Rp. 100 rb/ekor.

Mari segera mendafrar

Untuk mengingatkan kembali silahkan kami tunggu untuk pendaftar berikut nya. Tentu saja agar mendapatkan antrian nomer kecil, terlebih lagi karena idul Adha 1441-H, Insya Allah  akan jatuh pada hari Jumat.


Menurut catatan di panitia pendaftaran, Alhamdulillah, pendaftar penitip hewan qurban per 19 Juli 2020, sudah mencapai sapi yang ke-18. Adapun batas waktu pendaftaran pada tgl 28 Juli dan penitipan hewan qurban kambing pada 30 Juli 2020.

Bagi mudlohi sapi yang meminta tambahan kaki/buntut/hati/iga/ torpedo/paru di luar jatah daging, maka jatah dagingnya akan dikurangi 0,5 kg. Bagi mudlohi yang ingin membantu mendisditribusikan cantingan, diberikan 3 (tiga) cantingan. Permintaan tersebut dapat disampaikan pada saat pembayaran/pelunasan. Perubahan permintaan pada hari "H" tidak akan kami layani.

Ayo, mari kita mulai mendaftar. Kami masih menunggu pendaftar berikutnya. Seperti anjuran QS Al-Kautsar ayat 2: "Maka shalatlah dan sembelihlah hewan".

Dari Aisyah RA, bersabda: "Tidak ada satu amalan yang dikerjakan anak Adam (manusia) pada Hari raya Idul Adha yang lebih dicintai Allah dari menyembelih hewan. Karena hewan itu akan datang pada hari kiamat dengan tanduk-tanduknya, bulu-bulunya, dan kuku-kuku kakinya. Darah hewan itu akan sampai di sisi Allah sebelum menetes ke tanah. Karenanya lapangkanlah jiwamu untuk melakukannya." (Hadits Hasan, Riwayat al-Tirmidzi:1413 dan Ibn Majah:3117).**/nas

Jumat, 12 Juni 2020

Ustadz Heykal: "Patuhi Ulil Amri dan Ulama"

Catatan: Alhamdulillah pelaksanaan Shalat Jum’at yang kedua di Masjid Al-Muhajirin, RW-10 Antapani Kidul telah berjalan dengan baik. Protokol Kesehatan pun telah dilaksanakan dengan semestinya. Yakni dengan terlebih dahulu dilakukan pengukuran suhu tubuh dan pemberian hand sanitizer kepada seluruh jamaah yang masuk ke dalam masjid.

Penyelenggaraan shalat Jum’at yang kedua kali ini (12/6) bertindak sebagai khotib dan Imam, Ustadz Heykal Sya'ban, yang merupakan salah satu jamaah dan pengurus DKM Al-Muhajirin.

Dalam khotbah pembukanya Ustadz Heykal terlebih dahulu menyitir suatu hadits tentang sebuah peristiwa yang mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang. Peristiwa ini  mengundang kemarahan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam, Hal ini sebagai akibat ketidaktahuan (baca:kebodohan) dalam memutuskan suatu perkara agama.

Peristiwa ini diceritakan dalam hadits :

عَنْ جَابِرٍ قَالَ خَرَجْنَا فِي سَفَرٍ فَأَصَابَ رَجُلاً مِنَّا حَجَرٌ فَشَجَّهُ فِي رَأْسِهِ ثُمَّ احْتَلَمَ فَسَأَلَ أَصْحَابَهُ فَقَالَ هَلْ تَجِدُونَ لِي رُخْصَةً فِي التَّيَمُّمِ فَقَالُوا مَا نَجِدُ لَكَ رُخْصَةً وَأَنْتَ تَقْدِرُ عَلَى الْمَاءِ فَاغْتَسَلَ فَمَاتَ فَلَمَّا قَدِمْنَا عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُخْبِرَ بِذَلِكَ فَقَالَ قَتَلُوهُ قَتَلَهُمْ اللَّهُ أَلَا سَأَلُوا إِذْ لَمْ يَعْلَمُوا فَإِنَّمَا شِفَاءُ الْعِيِّ السُّؤَالُ إِنَّمَا كَانَ يَكْفِيهِ أَنْ يَتَيَمَّمَ

Dari Jâbir Radhiyallahu anhu , beliau berkata, “Kami berangkat dalam satu perjalanan lalu seorang dari kami tertimpa batu dan melukai kepalanya. Kemudian orang itu mimpi “basah” lalu ia bertanya kepada para sahabatnya, ‘Apakah kalian mendapatkan keringanan bagiku untuk tayammum ?” Mereka menjawab, “Kami memandang kamu tidak mendapatkan keringanan karena kamu mampu menggunakan air.” Lalu ia mandi kemudian meninggal. Ketika kami sampai dihadapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, peristiwa tersebut diceritakan kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Beliau bersabda, “Mereka telah membunuhnya. Semoga Allâh membalas mereka. Tidakkah mereka bertanya jika tidak mengetahui ? Karena obat dari tidak tahu adalah bertanya. Sesungguhnya dia cukup bertayammum [HR Abu Daud dalam sunannya dan dinilai shahih oleh Syaikh al-Albâni dalam Shahîh al-Jâmi’, no. 4362].





Inti dari peristiwa itu, ketika kita tidak tahu mengenai suatu hukum atau perkara agama hendaklah terlebih dahulu bertanya kepada ahlinya. Jangan sampai keliru menafsirkan atau memutuskan sendiri sesuai persepsinya atau yang ada dalam pemikirannya yang malah bisa berakibat fatal.

Dikaitkan dengan situasi Pandemi Covid-19 saat ini, memang telah menimbulkan dimensi penafsiran yang beraneka. Namun sangatlah bijak apabila kita dapat mengikuti anjuran yang disampaikan oleh Ulil Amri (Pemerintah) maupun para ulama, yang dalam hal ini diwakili oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). 


Jangan sampai kita mengambil keputusan berdasarkan hasil pemikiran sendiri atau merasa bahwa tindakannya benar. Misalnya, dengan mengatakan bahwa merasa takut itu hanyalah pada Allah semata.

Perihal kewajiban untuk bertanya atau patuh atau menyerahkan pada ahlinya, yakni Ulil Amri dan atau Ulama itu termaktub dalam Alquran Surat An-Nisa Ayat 83:

وَإِذَا جَآءَهُمْ أَمْرٌ مِّنَ ٱلْأَمْنِ أَوِ ٱلْخَوْفِ أَذَاعُوا۟ بِهِۦ ۖ وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى ٱلرَّسُولِ وَإِلَىٰٓ أُو۟لِى ٱلْأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ ٱلَّذِينَ يَسْتَنۢبِطُونَهُۥ مِنْهُمْ ۗ وَلَوْلَا فَضْلُ ٱللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُۥ لَٱتَّبَعْتُمُ ٱلشَّيْطَٰنَ إِلَّا قَلِيلًا

(Wa iżā jā`ahum amrum minal-amni awil-khaufi ażā'ụ bih, walau raddụhu ilar-rasụli wa ilā ulil-amri min-hum la'alimahullażīna yastambiṭụnahụ min-hum, walau lā faḍlullāhi 'alaikum wa raḥmatuhụ lattaba'tumusy-syaiṭāna illā qalīlā).

Terjemah: Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikuti syaitan, kecuali sebahagian kecil saja (di antaramu).

Apabila orang-orang munafik itu mendengar sesuatu tentang orang-orang Islam, baik terkait dengan keamanan dan kebahagiaan mereka maupun terkait ketakutan dan kesedihan mereka, maka orang-orang munafik itu langsung menyebarluaskannya.

Seandainya mereka mau mengembalikan masalah itu kepada Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- dan kepada para cendekiawan serta ulama penasihat, niscaya para cendekiawan cq para Ulama, akan dapat menemukan penyelesaian yang seharusnya dilakukan terkait hal itu.

Dipertegas lagi dalam Surat An Nisa Ayat 59:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

(Yaa ayyuhal ladziina aamanuu athii’ullooha wa athii’ur rosulla wa ulil amri mingkum. Fa ing tanaaza’tum fii syai’in farudduuhu ilalloohi warosuuli ing kungtum tu’minuuna billaahi walyaumil aakhir. Dzaalika khoiruw wa ahsanu ta’wilaa)

Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.

Dengan demikian kedudukan syariat atas larangan shalat jamaah dan Shalat Jum’at, beberapa waktu lalu,  yang melibatkan banyak jamaah dalam kaitannya dengan wabah Covid-19, maka dalam hal ini haruslah mengacu atau berpijak pada aturan yang disampaikan oleh Pemerintah maupun Ulama. 


Pandangan ini kian kuat karena pemerintah dan ulama dalam memutuskan terlebih dahulu berdasarkan pertimbangan medis-kedokteran yang sudah menyatakan agar seluruh warga tidak datang pada kegiatan yang melibatkan massa banyak.

Dalam Islam, ketaatan kepada ulil amri (pemerintah) itu merupakan kewajiban berdasarkan firman Allah SWT sebagaimana yang disampaikan tadi, “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri di antara kamu,” (Surat An-Nisa` ayat 59).

Mengacu pada ayat  ini, maka orang yang tidak mengikuti imbauan pemerintah sebagai berdosa dan maksiat serta dikategorikan sebagai orang munafik. Kemaksiatannya terletak pada pembangkangannya pada aturan pemerintah bukan pada Shalat Jumat itu sendiri. 

Setiap orang boleh memiliki keyakinan sendiri dan tidak percaya pada arahan para ahli kesehatan, tetapi sebagai warga negara terikat dengan apa yang diputuskan ulil amri. “Ketika seorang pemimpin pemerintahan memerintahkan perkara wajib, maka kewajiban itu makin kuat, bila memerintahkan perkara sunnah maka menjadi wajib, dan bila memerintahkan perkara mubah, maka bila di dalamnya terdapat kemaslahatan publik,

Tafsir Surat An Nisa ayat 59 ini pada intinya menyampaikan beberapa point, antara lain:.

1. Ketaatan mutlak kepada Allah dan Rasul-Nya

Poin pertama dari Surat An Nisa ayat 59 ini adalah ketaatan mutlak kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya)

Orang-orang yang beriman diperintahkan untuk mentaati Allah dan Rasul-Nya. Ketaatan di sini adalah ketaatan mutlak yang tidak bisa ditawar-tawar.

2. Taat kepada Ulil Amri

Poin kedua dari Surat An Nisa ayat 59 ini adalah ketaatan kepada ulil amri.

وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ

dan ulil amri di antara kamu.

Orang-orang yang beriman juga diperintahkan taat kepada ulil amri. Yang menarik, Ketaatan kepada ulil amri harus dibingkai dengan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Tidak boleh bertentangan. Namun tetap tidak boleh taat dalam perkara maksiat.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda dalam khutbah Haji Wada’:

وَلَوِ اسْتُعْمِلَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ يَقُودُكُمْ بِكِتَابِ اللَّهِ فَاسْمَعُوا لَهُ وَأَطِيعُوا

“Seandainya seorang budak memimpin kalian dengan memakai pedoman Kitabullah, maka tunduk dan patuhlah kalian kepadanya.” (HR. Muslim).

Dengan demikian sekalipun Pemerintah itu berbuat zolim, maka tetap perintah aturannya harus ditaati. Perbuatan zolimnya akan dipertanggungkan yang bersangkutan di akhirat kelak.

3. Kembali kepada Al Quran dan Hadits

Poin ketiga dari Surat An Nisa ayat 59 ini adalah menjadikan Al Quran dan Hadits sebagai sumber hukum. Jika ada perselisihan, harus dikembalikan kepada keduanya.

فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ

Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.

Kitabullan dan sunnah Rasulullah ini merupakan dua pusaka yang ditinggalkan Rasulullah untuk menjadi sumber hukum dan pedoman hidup umat Islam.

تَرَكْتُ فِيكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا كِتَابَ اللَّهِ وَسُنَّةَ نَبِيِّهِ

“Aku tinggalkan dua perkara yang kalian tidak akan tersesat selama berpegang kepada keduanya yakni Kitabullah dan sunnah Nabi-Nya.” (HR. Malik)

4. Hasil ruju’ kepada Quran dan Hadits

Poin keempat dari Surat An Nisa ayat 59 ini adalah hasil kembali kepada Al Quran dan Hadits.

ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.

Kembali kepada Al Quran dan Sunnah serta menjadikannya rujukan akan membawa kebaikan. “Yaitu lebih baik akibatnya dan penyelesaiannya.” //**ns

Sabtu, 06 Juni 2020

Ust. Mumu: "Ciri-ciri Orang Bertaqwa"

(Shalat Jum'at perdana berlangsung tertib//foto:dedi)
Alhamdulillah, wa Syukurillah, pelaksanaan Shalat Jum'at munggaran di masa Pandemi Covid-19 telah dapat dilaksanakan di Masjid Al-Muhajirin RW-10 Antapani Kidul dan berjalan dengan sangat baik dan lancar.

Bertindak sebagai Khatib dan Imam untuk pertama kalinya ini diserahkan kepada penasihat DKM Al-Muhajirin, Ustadz Mumu Romli.

Dalam khotbahnya Ust. Mumu, mengupas mengenai citi-ciri orang bertaqwa. Tidak terkecuali ciri-ciri orang yang bisa menerima situasi dan kondisi Pandemi Covid-19 saat ini.

Dalam khotbahnya Ust. Mumu mengutip Surat Al-baqarah ayat 1 /d 5, sebagai berikut:

الٓمٓ (١) ذَٲلِكَ ٱلۡڪِتَـٰبُ لَا رَيۡبَ‌ۛ فِيهِ‌ۛ هُدً۬ى لِّلۡمُتَّقِينَ (٢

 ٱلَّذِينَ يُؤۡمِنُونَ بِٱلۡغَيۡبِ وَيُقِيمُونَ ٱلصَّلَوٰةَ وَمِمَّا رَزَقۡنَـٰهُمۡ
يُنفِقُونَ (٣)
 وَٱلَّذِينَ يُؤۡمِنُونَ بِمَآ أُنزِلَ إِلَيۡكَ وَمَآ أُنزِلَ مِن قَبۡلِكَ
 وَبِٱلۡأَخِرَةِ هُمۡ يُوقِنُونَ (٤) أُوْلَـٰٓٮِٕكَ عَلَىٰ هُدً۬ى مِّن رَّبِّهِمۡ‌ۖ وَأُوْلَـٰٓٮِٕكَ هُمُ ٱلۡمُفۡلِحُونَ (٥

Artinya: “Alif Laam Miim (1); Kitab ini tidak ada yang diragukan, petunjuk bagi mereka yang bertakwa (2); Yaitu mereka yang beriman kepada yang gaib, menegakkan shalat dan menafkahkan sebagian rezki yang Kami berikan (3); Mereka juga beriman kepada kitab yang Kami turunkan kepadamu dan yang diturunkan sebelum kamu, mereka juga yakin akan datangnya hari Akhirat (4); Mereka itulah yang berada pada petunjuk Allah dan merekalah orang-orang yang berbahagia”. (5) (Q.S. Al-Baqarah [2]: 1-5)




(Suasana shalat jum"at munggaran masa Pandemi Covid-19//foto:rudi)
Kandungan taqwa

Dalam takwa terkandung cinta, kasih sayang, harap, cemas, tawakal, ridha, sabar dan sebagainya. Takwa adalah pelaksanaan dari iman dan amal shalih.

Adapun cirri-ciri atau karakteristik orang-orang yang bertaqwa itu adalah:

Beriman kepada yang ghaib

ٱلَّذِينَ يُؤۡمِنُونَ بِٱلۡغَيۡبِ

“mereka yang beriman kepada yang gaib”.

Beriman kepada yang ghaib yaitu meyakini adanya wujud di luar jangkauan indera. Orang yang mempunyai keyakinan seperti itu, akan mudah baginya membenarkan adanya Pencipta alam semesta. Dan apabila Rasul menjelaskan adanya alam yang hanya diketahui oleh Allah, seperti, adanya Allah, Malaikat atau Hari Akhir, maka tidaklah sulit baginya membenarkannya, karena telah meyakini kebenaran Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.

Yang ghaib, ialah yang tidak dapat disaksikan oleh pancaindera, tidak nampak oleh mata, tidak terdengar oleh telinga, yaitu dua indera yang utama dari kelima (panca) indera kita. Tetapi dia dapat dirasa adanya oleh akal dan iman dalam jiwa. Maka yang pertama sekali ialah percaya kepada Allah, zat yang menciptakan sekalian alam, kemudian itu percaya akan adanya hari kemudian, yaitu kehidupan kekal yang sesudah dibangkitkan dari maut.

Imam Al-Maraghi menyebutkan, orang yang tidak meyakini adanya wujud yang berada di luar jangkauan indera, sulitlah baginya meyakini adanya adanya Pencipta alam semesta, dan amat kecil kemungkinannya menemukan jalan untuk mengajaknya kepada kebenaran.

Iman artinya kepercayaan atau keyakinan yang teguh disertai dengan ketundukan dan penyerahan jiwa, atau pengakuan di hati yang membuahkan ketundukkan di lisan (dengan iqrar) dan pada anggota badan. Tanda-tanda adanya iman ialah mengerjakan apa yang dikehendaki oleh iman itu.



(Menjaga jarak salah satu kunci terhindar dari paparan Covid-19//foto:dedi)

Mendirikan salat

وَيُقِيمُونَ ٱلصَّلَوٰةَ

“dan menegakkan shalat”

Shalat yang dilakukan menurut cara yang telah disyariatkan oleh Islam, merupakan cara yang paling baik untuk mengungkapkan rasa keagungan Allah dan kebutuhan yang amat besar kepada-Nya, jika dilakukan sesuai dengan cara yang telah ditetapkan, yaitu dilakukan dengan khusyu’ (merendah) dan khudu’ (merunduk), jika dilakukan tanpa khusyu’ dan tanpa khudu’, maka salat tersebut kosong dari ruh, sekalipun bentuk dan caranya sama, telah memenuhi rukun dan syaratnya.

Maka ketika mendirikan shalat harus menghadirkan hati dalam semua bagian-bagiannya, ketika berdiri, ruku, sujud, dan duduk, dan disertai rasa takut kepada azab-Nya serta berusaha mendekatkan diri kepada-Nya, Allah pencipta alam semesta, seakan-akan melihat-Nya, sekalipun tidak dapat melihat-Nya.

Di dalam hadits disebutkan:

أَنْ تَعْبُدَ اللّهَ كَانَّك تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ

Artinya: “Hendaklah menyembah Allah seakan-akan kamu melihat-Nya, sekalipun kamu tidak dapat melihat-Nya, tetapi Allah melihatmu”. (H.R. Bukhari).

Maka menegakkan atau mendirikan shalat harus memenuhi dua unsur: unsur ruh salat yaitu khusyu’ dan khudu’, dengan menghadirkan hati dalam semua geraknya, dan unsur tubuh shalat, yaitu: berdiri, ruku’, sujud dan duduk dengan sempurna.

Bahkan Allah memerintahkan agar selalu dilakukan secara berjama’ah (khusus untuk Muslimin), sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya:

وَأَقِيمُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتُواْ ٱلزَّكَوٰةَ وَٱرۡكَعُواْ مَعَ ٱلرَّٲكِعِينَ

Artinya: “Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku”. (Q.S. Al-Baqarah [2]: 43).

Demikian halnya, menegakkan shalat yang sempurna adalah yang mampu menjaga seseorang dari perbuatan keji dan mungkar, sebagaimana diungkapkan dalam firman-Nya:

إِنَّ ٱلصَّلَوٰةَ تَنۡهَىٰ عَنِ ٱلۡفَحۡشَآءِ وَٱلۡمُنكَرِ‌ۗ

Artinya: “Sesungguhnya shalat itu mencegah (perbuatan-perbuatan) keji dan munkar”. (Q.S. Al-Ankabut [29] 45).

Karena itu, boleh jadi mereka sudah melakukan shalat, tetapi mengapa akhlqnya masih maksiat dan mungkar? Maka kemungkinan besar mereka tidak melakukannya sesuai dengan petunjuk Allah. Karena itulah Allah mengancam orang-orang yang shalat tapi lalai dari makina shalatnya itu, dengan ancaman yang sangat menakutkan, seperti ditegaskan dalam firman-Nya:

فَوَيۡلٌ۬ لِّلۡمُصَلِّينَ (٤) ٱلَّذِينَ هُمۡ عَن صَلَاتِہِمۡ سَاهُونَ (٥ ٱلَّذِينَ هُمۡ يُرَآءُونَ (٦) وَيَمۡنَعُونَ ٱلۡمَاعُونَ (٧

Artinya: “Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya, dan enggan (menolong dengan) barang yang berguna”. (Q.S. Al-Ma’un [107]: 4-7).


Memberikan Infaq

وَمِمَّا رَزَقۡنَـٰهُمۡ يُنفِقُونَ

“dan menafkahkan sebagian rezki yang Kami berikan”.

Rasyid Ridha menyebutkan, huruf mim yang terdapat pada kalimat min ma razaqnahum, mengandung makna ba’diyah (sebagian). Maka nafkah yang diperintahkan untuk dikeluarkan hanyalah sebagian harta yang dimiliki, tidak semuanya. Yang demikian itu dimaksudkan agar pemberian nafkah itu dilakukan dengan ikhlas, hanya mencari keridaan Allah semata dan karena bersyukur kepada Allah, bukan karena riya’ (pamer) atau mencari popularitas.
Yakin akan adanya Hari Akhir
وَبِٱلۡأَخِرَةِ هُمۡ يُوقِنُونَ

“mereka juga yakin akan datangnya hari Akhirat”.

Yakin ialah pembenaran dengan pasti yang tidak bercampur dengan keraguan sedikit pun. Maka meyakini adanya kehidupan di Hari Akhir berarti membenarkan dengan pasti adanya surga, neraka, balasan dan sebagainya yang terjadi di hari Akhir kelak.

Jika seseorang masih melakukan atau melanggar larangan-larangan Allah, seperti minum khamr, berzina, mencuri, korupsi, menipu, dan melakukan kejahatan-kejahatan lainnya, maka imannya dan keyakinannya akan adanya Hari Akhir hanyalah khayalan belaka, sebab tidak ada pengaruhnya sama sekali terhadap jiwa dan perilakunya.

Jika orang-orang beriman sudah melaksanakan itu semua, maka mereka berhak memperoleh hidayah dan keberuntungan, yaitu selamat dari siksaan di akhirat, dan dimasukkan ke surga yang dipersiapkan bagi orang-orang yang beriman.

Allah melanjutkan dengan ayat:

أُوْلَـٰٓٮِٕكَ عَلَىٰ هُدً۬ى مِّن رَّبِّهِمۡ‌ۖ وَأُوْلَـٰٓٮِٕكَ هُمُ ٱلۡمُفۡلِحُونَ

Artinya: “Mereka itulah yang berada pada petunjuk Allah dan merekalah orang-orang yang berbahagia”. (Q.S. Al-Baqarah [2]: 1-5).

Semoga kita termasuk ke dalam golongan orang-orang yang bertaqwa, sehingga selalu mendapat hidayah, ridha dan ampunan Allah. Aamiin Ya Allahu Ya Robbal Alamiin.//** 

Kamis, 04 Juni 2020

Masjid Al-Muhajirin New Normal Jumat 5 Juni 2020

Dengan mengucapkan rasa syukur, Alhamdulillah pada Illahi Rabbi, Ketua DKM Al-Muhajirin, Sigit Tjiptono, memutuskan secara resmi pada Jumat, 5 Juni 2020, Masjid Al-Muhajirin RW-10, Antapani Kidul dapat dipergunakan kembali untuk penyelenggaraan Shalat Berjamaah dan Shalat Jum'at seperti biasanya. 

Hanya saja, menurut Sigit, dalam pelaksanaannya tetap dengan menjaga protokol kesehatan sebagaimana yang sudah diatur dan ditetapkan Pemerintah dan Para Ulama melalui Majelis Ulama Indonesia (MUI). Misalnya kapasitas jamaah yang bisa ditampung di dalam masjid hanya 30% saja.

Dalam menyampaikan keputusan ini, Ketua DKM, terlebih dahulu merujuk pada surat Edaran MUI Kota Bandung No. 519/A/MUI-KB/VI/2020, tentang tindak lanjut Peraturan Walikota Bandung No. 32 Tahun 2020 dan Surat Camat Antapani Nomor.PD.01.03.03.01/247-KEC.ANTP/2020, tanggal 30 Mei 2020, perihal Pelaksanaan Peribadatan di Rumah Ibadah serta Hasil Rapat Pengurus DKM dengan Ketua RW 10
Antapani Kidul pada tanggal 03 Juni 2020.

Adapun Panduan pelaksanaan Shalat Berjamaah dan Shalat Jum’at di masjid bagi Jama’ah meliputi :

a. Wajib memahami perlindungan diri dari penularan Covid-19 dengan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS);

b. Cuci tangan dengan sabun/hand sanitizer;

c. Pengecekan suhu tubuh di pintu masuk, jika suhu tubuh lebih dari 38 derajat celcius  (dua kali pemeriksaan dengan jarak 5 menit), maka jemaah tidak diperbolehkan ikut shalat berjamaah serta diminta untuk melakukan pemeriksaan kesehatan;

d. Orang yang sedang sakit (batuk, flu, demam dll), tidak diperkenankan mengikuti Shalat berjamaah di Masjid;

e. Anak kecil (dibawah 15 tahun) dan Lansia yang rentan tertular penyakit sebaiknya tidak mengikuti shalat berjamaah di masjid;

f. Membawa sajadah masing masing yang bisa menjadi alas untuk muka, tangan dan kaki;

g. Wajib menggunakan MASKER mulai dari rumah sampai dengan kembali ke rumah;

h. Merenggangkan SHAF minimal 1 (satu) meter (Ikuti tanda/petunjuk shaf);

i. Shalat Fardu berjamaah dan Shalat Jum’at dilakukan sesingkat mungkin dengan atau tanpa mengurangi kesempurnaan Ibadah;

j. Tidak bersalaman dan tidak berpelukan dengan sesama Jemaah;

k. Tidak berlama-lama duduk di dalam Masjid;

l. Shalat sunat Rawatib (Qabliah dan Ba’diyah) hendaknya dapat dilakukan dirumah masing-masing.

Ketua DKM, memohon pengertian dan kesadaran seluruh jamaah untuk mematuhi sebaik-baiknya  sebagaimana petunjuk Ulama/MUI, dan arahan Camat, serta  hasil Rapat Pengurus DKM Al Muhajirin dengan Ketua RW 10 pada tgl 03 Juni 2020.//ns

Ust. Roni: "Ada Apa Negeri Berkekayaan Alam Melimpah Ruah, tapi Kesulitan Ekonomi Kian Menggurita."

Ketua DKM Al-Muhajirin yang baru: Ir. A. Hasan Munawar Catatan Redaksi: Pelaksanaan Shalat Idul Fitri 1445 H di Masjid Al-Muhajirin RW-10 An...